Senin, 21 Mei 2018

DAMPAK PEMBANGUNAN PLTU TERHADAP LINGKUNGAN


"DAMPAK PEMBANGUNAN PEMBANGKIT LISTRIK TENAGA UAP TERHADAP LINGKUNGAN"
 

DISUSUN OLEH:

KELOMPOK IV
DWI HARTINI NUR
CLARA INGGREASTUTI
SURIANTO
MUHAMMAD WAHYU SANTOSO
FACHRI T.

DEPARTEMEN TEKNIK ELEKTRO
FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS HASANUDDIN
GOWA
2018


DAFTAR ISI







DAFTAR GAMBAR


Gambar 1. Interaksi antara dinamika kependudukan, pengembangan SDA dan energi, Pertumbuhan ekonomi, Perkembangan IPTEK serta benturan terhadap tata lingkungan (Zen, 1979)........ 7
Gambar 2. Bagan Resiprokalitas Dampak Kebijakan .......................................... 10
Gambar 3. Limbah Gas/Aerosol PLTU Tanjung Jati I di Jepara ......................... 22
Gambar 4. Ilustrasi terjadinya efek gas rumah kaca ............................................. 23
Gambar 5. Disposisi Asam oleh Sulful Oksida dan Nitrogen Oksida .................. 24
Gambar 6. Pembagian biaya pembangkit di Indonesia ........................................ 26
Gambar 7. Biaya Pembangkit Energi ................................................................... 28




Tabel 1. Cadangan Energi Fosil di Indonesia tahun 2005 .................................... 13
Tabel 2. Dampak Seposisi Asam .......................................................................... 24








BAB I

PENDAHULUAN

Pembangunan dan lingkungan mempunyai hubungan yang erat saling terkait dan saling mempengaruhi satu sama lain. Pembangunan dalam hal ini berupa kegiatan usaha maupun kegiatan untuk hajat hidup orang banyak, membutuhkan faktor lingkungan baik lingkungan alam maupun lingkungan sosial sebagai unsur produksi baik secara langsung maupun tidak langsung. Lingkungan alam menjadi pemasok sumber daya alam yang akan diproses lebih lanjut guna memenuhi kebutuhan manusia, sedangkan lingkungan sosial menyediakan sumber daya manusia sebagai pelaku pembangunan. Sebaliknya lingkungan membutuhkan pembangunan untuk bisa memberikan nilai guna atau manfaat yang dapat diukur secara ekonomi. Demikian pula lingkungan sosial juga membutuhkan pembangunan guna mendapatkan manfaat untuk kehidupan yang lebih baik. Kegiatan pembangunan yang menghasilkan berbagai produk baik barang dan jasa telah memberikan manfaat bagi kesejahteraan, kemudahan, dan kenyamanan bagi kehidupan manusia diberbagai bidang. Namun demikian, dalam kaitan dengan lingkungan alam, ancaman datang dari dua sumber yakni polusi dan deplesi sumberdaya alam. Polusi berkaitan dengan kontaminasi lingkungan oleh industri, sedangkan deplesi sumberdaya alam bersumber dari penggunaan sumber-sumber yang terbatas jumlahnya.
Pertumbuhan pembangunan di satu sisi akan memberikan kontribusi positif terhadap taraf hidup masyarakat. Namun di sisi lain akan berakibat menurunnya fungsi lingkungan. Alih fungsi lahan untuk pembangunan secara langsung akan mengurangi luas lahan hijau, baik lahan pertanian maupun kawasan hutan yang merupakan penghasil oksigen. Sementara meningkatnya pemakaian bahan bakar fosil sebagai sumber energi justru menyumbang gas karbon yang akhirnya berdampak pada perubahan iklim yang terjadi karena efek rumah kaca. Kontradiksi antara kepentingan pembangunan dan kepentingan pelestarian fungsi lingkungan ini memerlukan upaya dan langkah nyata agar keduanya dapat dilakukan secara seimbang dan harmonis, sesuai amanat pembangunan berkelanjutan yakni pembangunan dengan memperhatikan tiga pilar utama yakni ekonomi, lingkungan, dan sosial.
Semenjak munculnya revolusi industri pada akhir abad ke-18, perkembangan teknologi dan industri semakin pesat. Penemuan-penemuan teknologi untuk mempermudah industri dan mempermudah perikehidupan manusia pada satu sisi memberikan manfaat nyata, namun di sisi lain konsekuensi yang mucul adalah tuntuntan ketersediaan energi listrik sebagai penggeraknya. Dengan demikian pertumbuhan pembangunan nasional secara linier juga menuntut peningkatan pasokan energi listrik. Dalam Masterplan Pembangunan Ketenagalistrikan 2010-2014, Kementerian Energi dan Sumberdaya Mineral Republik Indonesia, disampaikan bahwa pada tahun 2008, kapasitas terpasang energi listrik secara nasional baru mencapai 30.527 MW, dimana dari jumlah tersebut sekitar 74% (22.599 MW) merupakan pembangkit yang melayani sistem kelistrikan  jaringan pulau Jawa-Madura-Bali. Melalui perhitungan proyeksi pertumbuhan ekonomi dan pertumbuhan penduduk secara nasional, diprakirakan akan mempengaruhi peningkatan kebutuhan listrik sebesar 9,2% per tahun.

Adapun rumusan masalah dalam makalah ini antara lain:
1.      Bagaimana sistem pengelolaan AMDAL pada Pembangkit Listrik Tenaga Uap?
2.      Permasalahan apa saja yang disebabkan akibat pembangunan PLTU?
3.      Bagaimana tanggung jawab pengelola PLTU terhadap kerusakan lingkungan atas keberadaan PLTU?

1.      Untuk mengetahui dan menganalisis sistem pengelolaan AMDAL pada PLTU.
2.      Untuk mengetahui permasalahan-permasalahan yang disebabkan akibat pembangunan PLTU.
3.      Untuk mengetahui tanggung jawab pengelola PLTU terhadap kerusakan lingkungan atas keberadaan PLTU.

1.      Manfaat Teoritis
a.       Makalah ini diharapkan memberikan manfaat bagi kalangan mahasiswa pada umumnya dan mahasiswa departemen Teknik Elektro pada khususnya sebagai bahan referensi yang tertarik dalam bidang kajian ini.
b.      Memberikan manfaat bagi perkembangan Ilmu Keelektroan khususnya mengenai Dampak Pembangunan Pembangkit Listrik pada Lingkungan.
c.       Sebagai tambahan wacana referensi acuan makalah yang sejenis dan permasalahan yang berbeda.
2.      Manfaat Praktis
a.       Memberikan wawasan, pengetahuan serta pemahaman tentang dampak pembangunan pembangkit listrik pada lingkungan.
b.      Memberikan sumbangan pemikiran kepada masyarakat dan pelaku usaha industri khususnya industi kelistrikan akan arti pentingnya pelestarian lingkungan dan teknologi.
c.       Sebagai  bahan informasi bagi penelitian yang lain yang berkaitan dengan analisis mengenai dampak lingkingan di bidang keelektroan.




Sistem yaitu benda atau kumpulan benda apa saja yang akan kita teliti dan menjadi pusat perhatian kita. Sistem dapat dibedakan menjadi sistem terbuka dan sistem tertutup. Sistem terbuka yaitu suatu sistem yang memungkinkan terjadinya pertukaran materi dan energi antara sistem dan lingkungan. Sistem tertutup adalah suatu sistem yang tidak memungkinkan terjadinya pertukaran materi antara sistem dan lingkungan, tetapi masih memungkinkan terjadinya pertukaran energi. Sistem tertutup dikatakan sebagai sistem yang terisolasi bila tidak memungkinkan terjadinya pertukaran materi dan energi antara sistem dan lingkungan. Sistem dalam termodinamika adalah suatu sistem yang dapat berinteraksi (ada pertukaran energi) dengan lingkungannya . Alam semesta dapat dianggap sebagai suatu sistem yang terisolasi. Di luar sistem disebut dengan lingkungan.
Lingkungan Hidup adalah ciptaan Tuhan Yang Maha Esa yang sudah ada di dunia beberapa tahun lamanya sebelum terciptanya manusia. Hubungan manusia dengan lingkungan saling berkaitan dan keduanya sangat saling bergantung bisa kita bayangkan apabila manusia hidup tanpa adanya lingkungan. Adanya lingkungan yang tumbuh disekitar manusia dapat membantu manusia dalam mengelola udara (O2) yang dihirup oleh nya. Banyaknya masyarakat yang melakukan urbanisasi ke kota-kota besar yang masih belum menentu akan tinggal dimana dan membuat perubahan pada sekitar tempat yang seharusnya ditumbuhi oleh tumbuhan-tumbuhan hijau, tak jarang masyarakat yang tinggal di Daerah Aliran Sungai atau biasa disingkat dengan DAS. Perbuatan ini adalah perbuatan yang sangat mempengaruhi tumbuh dan berkembangnya tumbuhan disekitar Daerah Aliran Sungai, belum lagi limbah rumahtangga yang selalu mereka buang ke sungai itu dapat mencemari sungai tersebut dan salah satu kebiasaan masyarakat yang tinggal di pinggiran sungai adalah membuang sampah ke sungai yang dapat menyebabkan aliran sungai tidak berjalan dengan benar sehingga ketika hujan turun dengan deras akan menyebabkan banjir. 
Sambas Wirakusumah menyatakan: “Lingkungan merupakan semua aspek kondisi eksternal biologis, dimana organisme hidup dan ilmu-ilmu lingkunga menjadi studi aspek lingkungan organisme itu”Sri Hayati menyatakan: Menjelaskan lingkungan hidup sebagai satu kesatuan ruang dengan semua benda juga keadaan makhluk hidup. Yang termasuk didalamnya adalah manusia dan perilakunya yang melangsungkan kehidupan dan kesejahteraan manusia juga makhluk-makhluk hidup lainnya. Soedjono menyatakan: Menyatakan bahwa lingkungan hidup adalah lingkungan fisik atau jasmani yang terdapat di alam yang mencakup lingkungan hidup manusia, hewan dan tumbuh-tumbuhan yang ada di dalamnya.
Menurut Undang-Undang Nomor 32 tahun 2009 tersirat bahwa lingkungan hiduplah yang mempengaruhi mahluk hidup, termasuk di dalamnya manusia. Manusia hendaknya menyadari kalau alamlah yang memberi kehidupan dan penghidupan, baik secara langsung maupun tidak langsung.

Masalah lingkungan bagi para ahli biologi sudah sejak lama menjadi perhatian. Hal ini tidaklah mengejutkan karena ekologi yang kajiannya tentang interaksi antara organisme dengan lingkungannya merupakan salah satu cabang biologi yang penting. Masalah lingkungan yang sekarang dihadapi oleh seluruh bangsa adalah masalah yang berkaitan dengan kepentingan hidup manusia yang pada hakekatnya adalah masalah ekologi dan lebih khusus lagi masalah ekologi manusia.
Suatu masalah dapat diartikan sebagai sesuatu yang menghalangi atau merintangi keinginan atau harapan manusia. Masalah dipersepsikan sebagai kesenjangan diantara realita dan harapanharapan kita yang semestinya. Dengan demikian masalah lingkungan adalah kondisi-kondisi lingkungan biofisik yang merintangi kepuasan dan kebutuhan manusia untuk kesehatan dan kebahagiaan (Swan & Stapp, 1974). Berkaitan dengan kebutuhan manusia ada satu teori yang dikemukakan Maslow (1970) yang disebut Grumbles theory (Teori keluhan) atau Maslow’s hierarchy  yang diawali dengan kebutuhan paling dasar, yaitu kebutuhan fisiologis seperti makanan dan air sampai kepada kebutuhan fisiologis seperti keselamatan, rasa dicintai dan mencintai, rasa memiliki sampai kepada aktualisasi diri. Bila kebutuhan-kebutuhan tersebut tak dapat dipenuhi karena sesuatu hal maka manusia akan mengeluh dan hal tersebut merupakan masalah. Dalam kaitannya dengan lingkungan maka lingkungan yang menjadi rintangan atau penghalang untuk memenuhi kebutuhan tersebut. Masalah tersebut timbul karena ada perubahan di dalam lingkungan sehingga lingkungan tersebut tidak sesuai lagi dan tidak mendukung kehidupan manusia serta mengganggu kesejahteraan hidupnya (Soemarwoto, 1992). Lingkungan yang dimaksudkan adalah lingkungan hidup, yaitu segala benda, kondisi dan pengaruh yang terdapat dalam ruang yang kita tempati dan mempengaruhi hal, hal yang hidup termasuk manusia. Dengan demikian maka masalah lingkungan tersebut bersumber pada ketidakseimbangan dalam lingkungan hidup manusia.
Masalah lingkungan bukan lagi menjadi masalah suatu bangsa dan negara saja tetapi seluruh dunia dihadapkan pada masalah yang sangat kompleks dan pelik. Kita bahkan semua lapisan masyarakat sudah tahu tentang masalah tersebut sehingga tak perlu dirinci satu persatu.
Kompleksnya dan menyeluruhnya masalah lingkungan dapat dibuktikan dengan tayangan di berbagai media cetak dan media elektronik yang hampir tiap hari dimunculkan. Dari sekian banyak permasalahan yang dihadapi mulai dari masalah pangan, energi, kerusakan lingkungan, industrialisasi, pencemaran, pengangguran perekonomian sampai masalah sosial sepintas tampaknya terpisah-pisah tetapi kalau dicermati akan tampak bahwa permasalahan tersebut saling kait mengait dan bersumber pada rangkaian masalah pokok, yaitu: dinamika kependudukan, pengembangan sumber daya alam dan energi, pertumbuhan ekonomi dan perkembangan ilmu dan teknologi serta benturan terhadap tata lingkungan.
Gambar 1. Interaksi antara dinamika kependudukan, pengembangan                 SDA dan energi, Pertumbuhan ekonomi, Perkembangan IPTEK serta benturan terhadap tata lingkungan (Zen, 1979)

Ada dua hal yang paling menggoncangkan keseimbangan lingkungan, yaitu perkembangan ilmu dan teknologi serta ledakan penduduk (Salim, 1981). Perkembangan IPTEK telah mengubah keadaan lingkungan tempat hidup sehingga menimbulkan gangguan. Ledakan penduduk yang terjadi telah memicu percepatan perubahan lingkungan agar kebutuhan manusia dapat terpenuhi. Ledakan penduduk telah mendorong keharusan untuk melancarkan pembangunan sekaligus dengan pengembangan lingkungan.
Untuk dapat memulihkan keseimbangan lingkungan yang rusak adalah penting untuk menciptakan keragaman dalam sistem lingkungan. Semakin beragam isi lingkungan maka makin stabil sistem tersebut. Beragamnya isi lingkungan akan memperbesar daya dukung lingkungan untuk menampung gangguan-gangguan. Pembangunan pada hakekatnya menimbulkan keragaman dan diversifikasi dalam kegiatan ekonomi (Salim, 1981). Semakin beragam kegiatan ekonomi semakin besar kemampuan ekonomi negara itu untuk tumbuh cepat dan stabil. Namun demikian, keragaman dalam kegiatan ekonomi harus sejalan dengan usaha meragamkan sistem lingkungan. Hal ini hanya mungkin apabila dalam proses pembangunan sudah diperhitungkan segi lingkungan hidup dan diusahakan keselarasan antara pengembangan keragaman kegiatan ekonomi dengan pengembangan keragaman sistem lingkungan.
Proses pembangunan sebenarnya sudah berjalan sejak lama. Namun pergolakan ekonomi dalam tahun 1970-an sangat membingungkan yaitu dengan tingginya inflasi dan pengangguran yang tinggi pula. Para ahli ekonomi sependapat bahwa ada sesuatu yang tak beres tetapi tidak banyak yang menyadari bahwa perkembangan ekonomi secara global dalam tiga dasawarsa terakhir terus meningkat di negara maju dan sebagian negara berkembang disertai laju pertumbuhan penduduk yang tinggi pula (Brown, 1982). Pertumbuhan penduduk yang tinggi secara cepat telah melampaui batas daya tampung  sistem biologi bumi disertai dengan menyusutnya sumber daya. Dengan demikian permasalahan lingkungan berakar pada hubungan jumlah penduduk dengan sistem alam serta sumber dayanya. Pada dasarnya perekonomian dunia berdasar pada empat sistem biologis yaitu tanah pertanian, padang rumput, kehutanan, dan perikanan (Brown, 1982). Selain sebagai sumber pangan juga merupakan sumber bahan mentah untuk industri.
Pengaruh samping dari pembangunan seperti menyusutnya sumber daya  dan pencemaran telah mengancam kehidupan manusia di seluruh dunia tak terkecuali negara maju. Adanya permasalahan lingkungan ini mendapat perhatian dalam dasawarsa tahun 1970-an setelah diadakan Konferensi PBB tentang Lingkungan Hidup di Stockholm tahun 1972 dan sekarang dikenal dengan Konferensi Stockholm dan hari pembukaan konferensi tanggal 5 Juni telah disepakati untuk dijadikan Hari Lingkungan Hidup Sedunia. Namun demikian setelah 30 tahun konferensi tersebut ternyata masalah linglkungan semakin menjadi alias tak mampu mengatasi masalah lingkungan. Negara maju masih dengan pola hidupnya yang mewah, boros dan pencemaran, sebaliknya negara berkembang makin mengeksploitasi sumber daya alamnya untuk memacu pembangunan dan untuk membayar utang luar negerinya. Dengan kemampuan ekonomi, teknologi dan kesadaran lingkungan yang masih terbatas maka peningkatan pembangunan tidak diimbangi dengan perlindungan lingkungan. Akibatnya kerusakan  lingkungan akibat overeksploitasi dan pencemaran di negara berkembang masih tetap saja berlangsung.

Kebijakan publik menurut Dye dalam Dwiyanto Indiahono (2009: 17 ) adalah “apapun kegiatan pemerintah baik yang eksplisit maupun emplisit merupakan kebijakan”. Selain itu pendapat dari James E. Anderson dalam Dwiyanto Indiahono (2009: 17) mendefinisikan kebijakan sebagai perilaku dari sejumlah aktor (pejabat, kelompok, instansi pemerintahan) atau serangkaian aktor dalam suatu bidang kegiatan tertentu. jika pembicaraan tentang kebijakan memang tidak lepas dari kaitan kepentingan antar kelompok, baik di tingkat pemerintahan maupun masyarakat umum. Setelah kebijakan tersebut terbentuk maka untuk menjalankan kebijakan tersebut dilakukannya kegiatan implimentasi.

Menurut Barnadine R. Wijaya & Susilo Supardo (2006 : 81) dalam buku Harbani Pasolong mengatakan bahwa implementasi adalah proses mentranformasikan suatu rencana kedalam praktik. Sedangkan menurut Hinggis (1985) dalam buku Harbani Pasolong mendefinisikan jika implementasi adalah sebagai rangkuman dari berbagai kegiatan yang didalamnya sumber daya manusia menggunakan sumber daya lain untuk mencapai sasaran strategi. Selain itu menurut ahli lain, Grindle (1980) menjelaskan jika implementasi sering dilihat sebagai suatu proses yang penuh dengan muatan politik dimana mereka yang berkepentingan berusaha sedapat mungkin mempengaruhinya. Proses implementasi sudah berjalan maka  langkah selanjutnya adalah kegiatan evaluasi, guna untuk melihat hasil atau mengevaluasi dampak yang dari kebijakan tersebut.

Evaluasi dampak yang terjadi memberikan perhatian yang lebih besar kepada output dan dampak kebijakan dibandingkan kepada proses pelaksanaannya. Dalam kaitannya dengan dampak, perlu dipahami, jika adanya dampak yang diharapkan dan tidak diharapkan. Dampak yang diharapkan mengandung pengertian bahwa ketika kebijakan dibuat, pemerintah telah menentukan atau memetakan dampak apa saja yang akan terjadi. Di antara dampakdampak yang diduga akan terjadi ini, ada dampak yang diharapkan dan ada yang tidak diharapkan. Lebih dari itu, pada akhir implementasi kebijakan muncul pula dampak-dampak yang tak terduga, yang diantaranya ada yang diharapkan dan tak diharapkan. Oleh (Samudra Wibawa,1994:35)
Gambar 2. Bagan Resiprokalitas Dampak Kebijakan

Untuk mengukur hasil dan dampak  maka evaluasi dampak pembangunan PLTU memerlukan suatu kriteria untuk melakukan penilaian.
Dalam Wirawan (2011: 84), Michael Scriven mengembangkan tiga kriteria evaluasi kebijakan, yaitu :
1.      Pengaruh Sampingan yang Negatif, Yaitu pengaruh sampingan yang tidak dikehendaki oleh program
2.      Pengaruh Positif yang Ditetapkan, Suatu program mempunyai tujuan yang ditetapkan oleh rencana program.
3.      Pengaruh Sampingan Positif. Yaitu pengaruh  Positif program di luar pengaruh positif yang ditentukan oleh tujuan program.

BAB III
HASIL DAN PEMBAHASAN

 

Energi batubara sebagai pilihan utama pemerintah Indonesia demi mencapai target ambisius untuk membangun tambahan 35 Gigawatt (GW) kapasitas baru pada tahun 2019 telah menciptakan biaya dan dampak kesehatan serius yang akan membebani pemerintah dan masyarakat Indonesia.
Dengan menyertakan pertimbangan dampak biaya dan  kesehatan dari PLTU batubara, dapat dibuktikan bahwa pada akhirnya PLTU batubara menimbulkan biaya penyediaan listrik yang jauh lebih mahal daripada semua jenis energi.  Maka jelaslah bahwa batubara merupakan pilihan yang buruk untuk sebuah strategi energi masa depan negara.
Produksi dan penggunaan energi tetap menjadi sumber utama polusi udara di Indonesia.  Lebih dari 85 persen  dari partikel sulfur oksida dan nitrogen oksida dilepaskan oleh sektor energi.  Saat ini, jutaan ton polutan dari sektor energi dilepaskan dan menyebabkan kematian dini hingga mencapai estimasi 190 orang/hari di negara ini pada tahun 2013.
Emisi batubara adalah salah satu polutan yang paling merusak dari sektor energi. Namun, sampai saat ini, sekitar 40 persen dari pembangkit listrik di seluruh dunia masih menggunakan batubara sebagai sumber energi.  Kini PLTU batubara semakin kehilangan popularitasnya di sejumlah negara-negara maju seperti Amerika Serikat dan Belanda – berkat meningkatkan kesadaran dampak berbahaya yang ditimbulkan, penolakan publik yang luas terhadap penggunaan batubara, serta  ketersediaan energi terbarukan dunia yang semakin terjangkau – namun sebaliknya  PLTU batubara masih mendominasi produksi energi di Indonesia.   PLTU batubara meliputi sekitar  2/3 (dua pertiga) dari penjualan batubara di dalam negeri pada tahun 2010.
Logika terbalik yang mendasari bertahannya penggunaan energi batubara adalah bahwa biaya energi batubara lebih efisien daripada sumber energi lainnya, termasuk energi terbarukan. Akibatnya terdapat implikasi yang mengkhawatirkan pada strategi energi dari Pemerintah Indonesia. Misalnya, untuk mencapai target ambisius membangun tambahan 35 Gigawatt (GW) dari pembangkit listrik baru pada tahun 2019, Pemerintah Indonesia  mengusahakan bahwa 22.000 megawatt dari kapasitas tersebut akan berasal dari PLTU batu bara.
Argumen bahwa energi batubara merupakan energi murah sudah lama usang dan menyesatkan.  Argumen tersebut tidak  memperhitungkan kenyataan timbulnya eksternalitas negatif berupa biaya dan dampak kesehatan dari PLTU batubara. Bahkan, PLTU batubara mengeluarkan polutan beracun termasuk merkuri dan partikel-partikel kecil berbahaya meliputi logam berat arsenik dan kadmium, yang dipancarkan ke udara dan mengekspos masyarakat kepada risiko penyakit kronis pada orang dewasa serta infeksi saluran pernapasan akut pada anak-anak. Berdasarkan pemodelan dilakukan Universitas Harvard yang terbit dalam laporan Greenpeace baru-baru ini,  menyatakan bahwa PLTU batubara bertanggung jawab terhadap estimasi kematian dini  6.500 penderita /tahun di Indonesia.  Serta bila memperhitungkan tambahan ekspansi pembangunan PLTU batubara dalam rencana, maka estimasi angka penderita bertambah 15.700 orang setiap tahunnya di Indonesia.
Prinsip kerja PLTU yaknij terdiri dari : (I) Sistem pembangkit uap/Steam Generator, (II) Turbin, (III) Generator Listrik yang akan menghasilkan tenaga listrik untuk kemudian masuk dalam jaringan distribusi (IV).
Uap yang dihasilkan oleh sistem pembangkit uap/Steam Generator akan digunakan untuk memutar sistem Turbin yang dikopel dengan Generator Listrik yang akan merubah energi kinetik menjadi energi listrik. Listrik yang dihasilkan kemudian masuk dalam jaringan ditribusi untuk didistribusikan ke konsumen.
Pada PLTU sistem pembangkit uap yang digunakan adalah sistem konvensional yakni uap dihasilkan dari boiler yang pemanasanya dilakukan dengan menggunakan bahan bakar fosil.

Dengan meningkatnya kebutuhan energi listrik maka akan dibutuhkan pembangunan pembangkit yang lebih banyak sehingga akan berakibat pada eploitasi SDA yang semakin meningkat. Hal ini akan berdampak pada menurunnya cadangan SDA yang ada.
Sumber daya energi khususnya yang tidak terbarukan seperti minyak, gas, batubara (energi fosil) semakin lama akan terus berkurang sesuai dengan pemakaian yang terus meningkat. Hal ini akan menimbulkan krisis energi dikemudian hari khususnya untuk generasi yang akan datang. Data cadangan energi terbukti di Indonesia menunjukkan bahwa energi minyak tinggal 10 th, Gas 30 th, dan Batu-bara 146 tahun, dengan asumsi cadangan terbukti tetap dan tidak ada peningkatan produksi seperti ditunjukkan pada Tabel 1.  Ini berarti bahwa setelah kurun waktu tersebut maka mau tidak mau Indonesia harus mengimpor sumber energi dari luar.

Tabel 1. Cadangan Energi Fosil di Indonesia tahun 2005
Energi
Total Cadangan
Cangan Terbukti
Produksi
Perbandingan
Minyak
9,6 Milyar bbl
5 Milyar bbl
0,5 Milyar bbl
23 tahun
Gas
170 TSCF
87 TSCF
2,9 TSCF
62 tahun
Batubara
38 Milyar Ton
6,5 Milyar Ton
73 Milyar Ton
146 tahun

Kebijakan diversifikasi energi primer yang selama ini telah dilakukan khususnya terhadap ketergantungan akan minyak bumi telah menurunkan konsumsi pemakaian minyak dari 88% pada tahun 1970 menjadi 57,2% pada tahun 2000. Namun demikian diversifikasi ini masih mengandalkan sumber energi fosil yang lain yakni penggunaan gas dan batubara yang mulai diintensifkan hingga meningkat dari 6% menjadi 27,2% untuk gas dan 1% menjadi 10,1 % untuk batubara pada kurun waktu tersebut. Hal ini tentunya juga akan mengurangi keterbatasan cadangan energi gas dan batubara yang ada.
Penggunaan bahan bakar nuklir relatif sangat kecil dibandingkan penggunaan bahan bakar batubara maupun bahan bakar fosil yang lain untuk pembangkit listrik dengan daya yang sama. Selain itu dari sisi operasional  kelebihan pembangkit tenaga nuklir adalah dapat dioperasikan terus menerus selama satu tahun tanpa mengganti dengan bahan bakar yang baru. Dengan demikian akan meningkatkan efisiensi penggunaan sumber daya alam yang ada.

Perubahan energi dari satu bentuk ke bentuk yang lainnya dengan berbagai cara sering mempengaruhi lingkungan dan udara yang kita hirup, dan dengan demikian mempelajari energi tidaklah lengkap tanpa mempertimbangkan dampaknya terhadap lingkungan . Bahan bakar fosil seperti batu bara, minyak bumi, dan gas alam telah memotori perkembangan industri dan fasilitas kehidupan modern yang kita nikmati sekitar awal abad 19, tetapi semua ini tidaklah tanpa efek samping yang tidak diinginkan. Dari tanah yang kita tanam dan air yang kita minum sampai udara yang kita hirup, lingkungan telah menerima dampak yang sangat besar untuk semua itu. Polutan yang dihasilkan pada pembakaran fosil merupakan faktor terbesar terjadinya asap, hujan asam, dan pemanasan global dan perubahan iklim5). Polusi lingkungan telah melampaui batas ambang  dimana menjadi ancaman yang serius bagi tanaman, satwa liar, dan kesehatan manusia. Polusi udara telah menjadi penyebab berbagai masalah kesehatan termasuk asma dan kanker. Diperkirakan lebih dari 60.000 orang di Amerika Serikat meninggal dunia setiap tahunnya karena penyakit jantung dan paruparu yang berkaitan dengan polusi udara.
Ratusan unsur dan senyawa, seperti benzena dan formaldehid diketahui teremisi pada pembakaran batubara, minyak bumi, gas alam, dan kayu di pembangkit-pembangkit tenaga listrik, mesin kendaraan, tungku pembakaran, dan bahkan perapian. Beberapa senyawa ditambahkan ke bahan bakar cair untuk berbagai alasan (seperti MTBE atau methyl tertiary buthyl ether  yang digunakan untuk meningkatkan angka oktan pada bahan bakar dan juga oksigenasi bahan bakar pada musim dingin untuk mengurangi asap perkotaan), yang mana dapat menggangu kesehatan mata dan pernapasan. Sumber terbesar polusi udara adalah dari kendaraan bermotor, dan polutan yang dikeluarkan oleh kendaraan biasanya dikelompokkan sebagai hidrokarbon (HC), nitrogen oksida (NOx), dan karbon monoksida (CO) (Gbr 1). Emisi HC merupakan komponen besar dari emisi senyawa volatil organik (VOCs), dan ini umumnya digunakan secara bergantian untuk emisi kendaraan bermotor. Sebagian besar dari emisi VOC atau HC disebabkan oleh penguapan pada saat pengisian bahan bakar atau tumpahan ketika spitback atau oleh penguapan dari tangki gas karena penutup yang tidak tertutup rapat. Pelarut, bahan pembakar, dan produk pembersih untuk rumah tangga yang mengandung benzena, butana, atau produk HC lainnya juga merupakan sumber penting dari emisi HC.
Peningkatan pencemaran lingkungan pada tingkat yang mengkhawatirkan dan peningkatan kewaspadaan dari bahayanya itu sendiri, membuat perlu dilakukannya pengendalian pencemaran lingkungan dengan menggunakan undang-undang dan kesepakatan internasional. di Indonesia ada AMDAL. Di Amerika Serikat, UndangUndang Udara Bersih (The Clean Air Act) pada tahun 1970 (di daerah yang ditandai dengan asap selama 14 hari di Washington pada tahun itu) menetapkan batas polutan yang dihasilkan pembangkit-pembangkit besar dan kendaraan. Standar ini difokuskan pada emisi hidrokarbon, nitrogen oksida, dan karbon monoksida). Mobil-mobil baru harus memiliki alat konversi katalis (catalytic converter) pada sistem pembuangannya untuk mengurangi emisi HC dan CO. Sebagai manfaat lain, pemisahan timbal dari bensin pada catalytic converter menyebabkan penurunan yang drastis pada emisi timbal beracun.
Seperti di Amerika Serikat batas emisi untuk HC, NO, dan CO dari mobil telah menurun secara berkala sejak tahun 1970. The Clean Air Act tahun 1990 membuat persyaratan yang lebih ketat tentang emisi, terutama untuk ozon, CO, Nitrogen Dioksida, dan unsur partikel (PM). Sebagai hasilnya, sekarang ini fasilitas industri dan kendaraan menghasilkan sebagian kecil dari polutan sama seperti yang mereka hasilkan beberapa dekade yang lalu. Emisi HC dari mobil. Contohnya, penurunan dari sekitar 5 gpkm (gram per km) pada tahun 1970 menjadi 0,25 gpkm pada tahun 1980 dan sekitar 0,06 gpkm pada tahun 1999. Ini adalah penurunan yang drastis karena sebagian besar gas beracun yang dihasilkan dari kendaraan bermotor dan bahan bakar cair adalah hidrokarbon.
 Anak-anak sangat rentan terhadap dampak yang dihasilkan oleh polusi udara karena organ tubuh mereka masih dalam masa perkembangan. Mereka juga terkena polusi yang lebih banyak karena mereka lebih aktif, dan bernapas lebih cepat. Orang yang mempunyai masalah dengan jantung dan paru-paru, terutama asma, faktor terbesarnya adalah disebabkan oleh polusi udara. Hal ini menjadi jelas jika tingkat polusi udara di lingkungan mereka mencapai tingkat yang sangat tinggi.

3.2.3.1  Asap dan Ozon
Jika anda tinggal di daerah metropolitan seperti Los Angeles, anda mungkin terbiasa dengan asap perkotaan – asap berwarna kuning gelap atau kecoklatan yang membentuk gumpalan udara yang mengambang di daerah-daerah berpenduduk pada hari musim panas2). Asap sebagian besar terdiri dari  lapisan bawah ozon (O3), tetapi juga banyak mengandung unsur-unsur kimia lainnya, termasuk karbon monoksida (CO), unsur partikel seperti debu, senyawa volatil organic (VOCs) seperti benzene, butane, dan hidrokarbon lainnya. Lapisan bawah ozon yang berbahaya jangan disamakan dengan lapisan ozon yang berguna di stratosfer untuk melindungi bumi dari sinar ultraviolet matahari yang berbahaya. Ozon di bagian permukaan tanah merupakan polutan dengan beberapa pengaruh yang merugikan kesehatan. Sumber utama nitrogen oksida dan hidrokarbon adalah kendaraan bermotor. Hidrokarbon dan nitrogen oksida bereaksi terhadap sinar matahari pada hari yang cerah untuk membentuk lapisan bawah ozon, yaitu komponen utama dari asap. Puncak dari pembentukan asap biasanya pada sore hari saat suhu tertinggi dan banyak sinar matahari. Meskipun lapisan bawah asap dan ozon terbentuk di daerah perkotaan dengan lalu lintas yang padat atau daerah industri, namun angin yang bertiup dapat membawanya beberapa ratus mil ke kota lain. Ini menunjukkan bahwa polusi tidak mengenal batas, dan merupakan masalah global.
Ozon dapat menyebabkan iritasi pada mata dan merusak kantung udara pada paruparu, dimana oksigen dan karbon dioksida bertukar, yang pada akhirnya menyebabkan pengerasan pada jaringan lunak dan kenyal. Hal itu juga dapat menyebabkan sesak napas, kelelahan, sakit kepala, mual, dan memperburuk masalah pernapasan seperti asma. Setiap bagian ozon berdampak kecil terhadap kerusakan pada paru-paru, seperti halnya asap rokok, yang akhirnya mengikis kapasitas paru-paru setiap manusia. Tetap berada di dalam rumah dan mengurangi aktivitas fisik pada saat kondisi asap meningkat dapat meminimalisasi kerusakan yang parah. Ozon juga merugikan tumbuhtumbuhan dengan merusak jaringan-jaringan daun. Untuk meningkatkan kualitas udara di daerah-daerah dengan masalah ozon terburuk, Reformulated Gasoline (RFG) yang mengandung 2% oksigen telah diperkenalkan. Penggunaan RFG telah menghasilkan penurunan yang signifikan dalam emisi ozon dan polutan lainnya, dan penggunaannya diwajibkan untuk daerahdaerah yang rawan banyak asap.
p adalah karbon monoksida, yang tidak berwarna, tidak berbau, dan merupakan gas yang beracun. Karbon monoksida sebagian besar berasal dari kendaraan bermotor, dan dapat mencapai tingkat yang berbahaya di daerah dengan lalu lintas sangat padat. Karbon monoksida menghalangi organ-organ tubuh untuk mendapatkan oksigen dengan cara mengikat sel darah merah yang seharusnya membawa oksigen. Pada jumlah yang kecil, karbon monoksida dapat menyebabkan berkurangnya jumlah oksigen yang dikirim ke otak, organ dan otot lainnya, memperlambat reaksi dan reflek, dan bersifat merusak. Itu menimbulkan ancaman yang serius bagi orang yang berpenyakit jantung yang disebabkan rapuhnya kondisi sistem peredarahan darah dan janin, karena oksigen sangat dibutuhkan untuk perkembangan otak. Pada jumlah yang besar, dapat berakibat fatal, sebagaimana dibuktikan dengan banyaknya kematian yang disebabkan oleh mobil yang dipanaskan di dalam garasi dan kebocoran gas buangan ke dalam mobil.
Asap juga mengandung unsur partikel yang tersuspensi seperti debu yang dihasilkan oleh kendaraan bermotor dan industri. Partikel seperti itu dapat menyebabkan iritasi pada mata dan paru-paru karena dapat membawa senyawa, seperti asam dan logam.

3.2.3.2  Hujan Asam
Bahan bakar fosil adalah campuran dari berbagai macam bahan kimia, termasuk belerang (sulfur) dalam jumlah kecil. Sulfur pada bahan bakar bereaksi dengan oksigen membentuk sulfur dioksida (SO2), yang merupakan polutan udara. Sumber utama SO2 adalah pembangkit tenaga listrik yang membakar batubara dengan kandungan sulfur tinggi. Di Amerika Serikat dilakukan The Clean Air Act tahun 1970 telah membatasi emisi SO2 dengan tegas yang mengharuskan pembangkit-pembangkit untuk menggunakan Scrubber, untuk mengubah menjadi batubara dengan kandungan sulfur rendah, atau mengubah menjadi gas batubara dan memperbaiki sulfur kembali.2 Kendaraan bermotor juga merupakan salah satu sumber SO2 karena bensin dan solar juga mengandung sulfur dengan jumlah kecil. Letusan gunung merapi dan air mata panas juga melepaskan sulfur dioksida (ditandai dengan bau seperti bau telur busuk).
Sulfur oksida dan nitrat oksida bereaksi dengan uap air dan bahan kimia lainnya di lapisan atas atmosfer dihadapan sinar matahari untuk membentuk asam sulfat dan asam nitrat. Asam yang terbentuk biasanya terlarut dalam tetesan air yang jatuh ke dalam awan atau kabut. Tetesan sarat asam ini, seperti pada jus lemon, turun dari udara ke tanah bersama hujan atau salju. Hal ini dikenal sebagai hujan asam. Tanah mampu menetralkan asam tertentu, tetapi jumlah besar yang dihasilkan oleh pembangkit listrik yang menggunakan batubara murah dengan kandungan sulfur tinggi telah melampaui batas kemampuan tanah, dan sebagai hasilnya banyak danau dan sungai di daerahdaerah industri seperti New York, Pennsylvania, dan Michigan menjadi sangat asam bagi kehidupan ikan.4 Hutan di daerahdaerah tersebut juga mengalami kerusakan secara perlahan karena menyerap asam melalui daun, batang, dan akar. Bahkan struktur marmer memburuk akibat hujan asam. Besarnya masalah ini tidak diketahui sampai awal 1970-an, dan langkah-langkah serius telah dilakukan sejak saat itu untuk mengurangi pembentukan sulfur dioksida secara drastis dengan penggunaan scrubber pada pembangkit-pembangkit dan dengan desulfurisasi batubara sebelum pembakaran.

3.2.3.3  Efek Rumah Kaca Pemanasan Glomab dan Perubahan Iklim
Anda mungkin menyadari ketika anda meninggalkan mobil di bawah terik matahari , interior di dalam mobil menjadi lebih panas dari pada udara di luar mobil, dan mungkin anda bertanya-tanya mengapa mobil anda berfungsi seperti perangkap panas. Ini dikarenakan kaca pada ketebalan yang dapat mentransmisikan dengan mudah lebih dari 90% radiasi dalam jarak pandang dan buram (non-transparan) menjadi radiasi dengan jarak panjang gelombang inframerah yang lebih panjang. Oleh karena itu, kaca memungkinkan radiasi matahari untuk masuk secara bebas, tetapi menghalangi radiasi inframerah yang dipancarkan oleh permukaan interior. Ini menyebabkan peningkatan suhu pada interior sebagai akibat dari penumpukan energi panas di dalam mobil. Efek pemanasan ini dikenal sebagai efek rumah kaca, karena efek ini digunakan terutama di rumah kaca.
Efek rumah kaca juga dialami oleh bumi dalam skala besar. Permukaan bumi, yang menghangat pada siang hari karena adanya penyerapan energi surya, dan mendingin pada malam hari dengan memancarkan sebagian energinya ke ruang angkasa berupa radiasi infra merah. Karbon dioksida, uap air, dan sisa dari beberapa gas lainnya seperti metana dan nitrogen oksida menyelimuti bumi dan membuat bumi tetap hangat pada malam hari dengan cara menghalangi panas yang terpancar dari bumi (Gbr.4). Oleh karena itu, ini disebut juga "gas rumah kaca", dengan CO2 sebagai komponen utamanya. Uap air biasanya tidak termasuk didalamnya karena jatuh berupa hujan atau salju sebagai bagian dari siklus air dan aktivitas manusia dalam memproduksi air (seperti pembakaran bahan bakar fosil) yang tidak merubah konsentrasi uap air di atmosfer (yang sebagian besar disebabkan oleh penguapan dari sungai, danau, lautan, dll). CO2 berbeda, bagaimanapun, aktivitas masyarakat kita merubah konsentrasi CO2 di atmosfer.
Efek rumah kaca membuat kehidupan di bumi terus berlangsung dengan menjaga bumi tetap hangat (sekitar 30oC). Namun, jumlah gas yang berlebih ini mengganggu keseimbangan karena terlalu banyak energi yang tertahan, yang menyebabkan suhu ratarata bumi meningkat dan iklim di beberapa lokasi berubah. Konsekuensi-konsekuensi yang tidak diinginkan ini efek rumah kaca ini disebut sebagai pemanasan global atau perubahan iklim global.
Perubahan iklim global terjadi karena penggunaan yang berlebihan dari bahan bakar fosil seperti batu bara, produk minyak bumi, dan gas alam di pembangkit tenaga listrik, transportasi, bangunan, dan pabrik, dan telah menjadi perhatian dalam beberapa dekade terakhir. Pada tahun 1995, sebanyak 6,5 miliar ton karbon terlepas ke atmosfer sebagai CO2. Konsentrasi CO2 di atmosfer sekarang ini adalah sekitar 360 ppm (atau 0,36%). Konsentrasi ini adalah 20% lebih tinggi dari satu abad yang lalu, dan diperkirakan akan meningkat sampai lebih dari 700 ppm pada tahun 21004). Pada kondisi normal, tumbuh-tumbuhan mengkonsumsi CO2 dan melepaskan O2 pada saat proses potosintesis, dengan demikian konsentrasi CO2 di atmosfer tetap terjaga pada kondisi aman. Pohon yang tumbuh besar mengkonsumsi CO2 sekitar 12 kg tiap tahunnya dan mengeluarkan cukup oksigen dan dapat menunjang kebutuhan bernapas untuk empat keluarga. Akan tetapi, penebangan hutan dan meningkatnya produksi CO2 dalam beberapa dekade terakhir mengganggu keseimbangan ini.
Dalam laporan tahun 1995, ilmuwan terkemuka di dunia menyimpulkan bahwa suhu di bumi meningkat sekitar 0.5oC selama beberapa abad terakhir, dan mereka memperkirakan bahwa suhu di bumi akan meningkat sekitar 20oC lagi pada tahun 2100.2 Kenaikan sebesar ini dikhawatirkan dapat menyebabkan perubahan besar pada pola cuaca dengan badai dan hujan lebat serta banjir di beberapa tempat dan kemarau di tempat lain, banjir besar karena akibat mencairnya es di kutub, hilangnya lahan basah dan wilayah pesisir karena meningkatnya permukaan laut, banyaknya bentuk dalam penyediaan air, perubahan ekosistem diakibatkan ketidakmampuan beberapa spesies hewan dan tanaman untuk menyesuaikan diri dengan perubahan cuaca, meningkatnya wabah penyakit karena kenaikkan suhu, dan efek samping yang merugikan kesehatan manusia dan kondisi sosial ekonomi di beberapa  daerah.
Ancaman yang serius ini telah menggerakkan PBB untuk membentuk sebuah komite mengenai perubahan iklim. Pertemuan dunia dilakukan pada tahun 1992 di Rio de Janerio, Brazil, dan menarik perhatian dunia terhadap masalah tersebut. Perjanjian yang dibuat oleh komite pada tahun 1992 untuk mengontrol emisi gas rumah kaca itu telah ditandatangani oleh 162 negara. Pada pertemuan tahun 1997 di Kyoto (Jepang), negara-negara industri di dunia mengikuti hasil yang dikeluarkan dan berkomitmen untuk mengurangi emisi CO2 dan gas rumah kaca sebesar 5% dibawah level tahun 1990, pada tahun 2008 sampai tahun 2012. Hal ini dapat dilakukan dengan meningkatkan upaya konservasi dan meningkatkan efisiensi konversi, saat pertemuan tersebut permintaan atas energi baru dengan menggunakan energi yang diperbarui (seperti tenaga air, tenaga surya, angin, dan energi panas bumi, gelombang air laut) daripada bahan bakar fosil.
Amerika Serikat merupakan penghasil gas rumah kaca terbesar, yakni lebih dari 5 ton karbon yang dihasilkan tiap orang tiap tahun. Sumber terbesar dari emisi gas rumah kaca adalah transportasi. Tiap liter bensin yang terbakar oleh kendaraan bermotor memproduksi sekitar 2,5 kg CO2. Rata-rata mobil di Amerika Serikat dikendarai sekitar 20.000 km tiap tahun,2 dan mengkonsumsi sekitar 2300 liter bensin. Oleh karena itu, mobil menghasilkan sekitar 5500 kg CO2 ke atmosfer tiap tahun, yaitu sekitar empat kali berat mobil khusus (Gbr.5). Emisi ini dan lainnya dapat dikurangi secara signifikan dengan cara membeli sebuah mobil hemat energi yang membakar lebih sedikit bahan bakar dengan jarak yang sama, dan dengan mengemudi secara wajar. Menghemat bahan bakar, sama dengan menghemat uang dan menyelamatkan lingkunngan. Contohnya, memilih kendaraan yag mengkonsumsi 8 L/100 km daripada 12 L/100 km akan mencegah 2 ton CO2 terlepas ke atmosfer setiap tahun dan juga menghemat biaya bahan bakar $400 per tahun (dengan kondisi mengemudi rata-rata 20.000 km per tahun dan biaya bahan bakar sebesar $ 0,53/L).

3.2.4.1  Gas CO2
Limbah gas CO2 yang dihasilkan dari suatu pembangkit listrik fosil adalah Gas Co2  yang merupakan salah satu golongan gas rumah kaca (ditunjukkan pada Gambar 3).  Efek gas rumah kaca ini akan menyebabkan radiasi sinar infra merah dari bumi akan kembali ke permukaan bumi karena tertahan oleh gas rumah kaca. Hal ini lah yang menyebabkan terjadinya pemanasan global pada bumi (ditunjukkan pada Gambar 4).
Gambar 3. Limbah Gas/Aerosol PLTU Tanjung Jati I di Jepara

Pemanasan global pada bumi ini akan menimbulkan dampak turunan yang lebih panjang yakni mencairnya gunung-gunung es di kutub, meningkatnya suhu permukaan bumi, meningkatnya suhu air laut, menungkatnya tinggi permukaan laut, kerusakan pantai karena meningkatnya abrasi laut, dan hilangnya pulau-pulau kecil karena abrasi air laut.
Data tahun 2002 menunjukkan suhu permukaan bumi di  dunia naik sekitar (0,6 ± 0,2)oC selama 100 tahun terakhir (IPCC, 2002). Tinggi air permukaan laut di seluruh dunia telah meningkat 10-25 cm atau sekitar 1-2 mm/tahun selama abad 20 (IPCC,2002). Untuk Indonesia sendiri dampak yang paling jelas dirasakan adalah adanya kenaikan suhu bumi yang mencapai 0,54oC  dari tahun 1950-2000, sedangkan untuk Jakarta pada  Februari  2007 suhu udara mengalami kenaikan yang biasanya normal  30-33 oC menjadi 37oC (Kompas, 2 Juni 2007)
Gambar 4. Ilustrasi terjadinya efek gas rumah kaca

3.2.4.2  Gas SO2 dan NOx
Gas Sulfur Oksida (SO2) dan Nitrogen Oksida (NOx) adalah termasuk limbah gas yang dihasilkan dari Pembangkit Listrik Tenaga Fosil. Dua jenis limbah ini merupakan sumber deposisi asam. Mekanisme reaksi terjadinya deposisi asam adalah sebagai berikut :
2SO2/NOx + H2O(uap) → 2H2SO4/HNO3
Pencemar yang bersifat asam ini akan turun dari atmosfer kepermukaan bumi dengan cara basah dan kering yang disebut dengan deposisi basah dan deposisi kering. Deposisi basah terjadi jika zat yang bersifat asam larut melalui air hujan, salju, dan kabut sebelum turun kepermukaan bumi. Deposisi kering terjadi jika zat yang bersifat asam berupa butiran-butiran halus yang diterbangkan oleh angin kemudian turun ke bumi seperti ditunjukkan pada Gambar 5.
Gambar 5. Disposisi Asam oleh Sulful Oksida dan Nitrogen Oksida

Dampak dari deposisi asam ini sangat luas yakni terhadap makhluk hidup, vegetasi dan struktur bangunan seperti pada Tabel 2 dibawah ini:
Tabel 2. Dampak Seposisi Asam
Dampak terhadap:
Keterangan
Makhluk hidup
·         Punahnya beberapa jenis ikan
·         Mengganggu siklus makanan
·         Mengganggu pemanfaatan air untuk air minum, perikanan, pertanian
·         Menimbulkan masalah pada kesehatan
·         Pernafasan dan iritasi kulit
Vegerasi
·         Perubahan keseimbangan nutrisi dalam tanah
·         Mengganggu pertumbuhan tanaman
·         Merusak tanaman
·         Menyuburkan pertumbuhan jamur madu yang dapat mengganggu pertumbuhan tanaman (menjadi layu)
Struktur Bangunan
·         Melarutkan Kalsium Karbonat pada beton, lantai marmer
·         Melarutkan tembaga dan baja
·         Mempercepat korosi pada pipa saluran air
·         Mengikis bangunan candi dan patung


Saat ini, terdapat proyek PLTU batubara dengan total kapasitas tambahan total 45.365 MW di seluruh negeri.  Penambahan pembangunan bervariasi, terdiri dari  proyek 17.825 MW ‘announced’, 17.930 MW ‘pre-permit development’, 4.400 MW ‘permitted’ proyek dan 5,210MW ‘under construction’. Diperkirakan bahwa total biaya investasi akan berjumlah USD 58.5 miliar atau Rp. 770 triliun.
Selain biaya investasi serta komponen lain meliputi biaya bahan bakar, operasi dan pemeliharaan, penting untuk melakukan internalisasi biaya kesehatan, serta menghitung biaya eksternalitas lainnya.  Sehingga akan didapatkan angka biaya batubara yang sesungguhnya . Berdasarkan perhitungan Greenpeace menggunakan penelitian Universitas Harvard, dampak kesehatan dari 45.365 MW pembangkit listrik tenaga batubara adalah USD 26,7 miliar atau setara dengan Rp. 351 trilliun untuk setiap tahun operasi PLTU batubara.
Meski biaya investasi hanya terjadi sekali selama pembangunan pembangkit listrik, namun biaya kesehatan akan terus muncul selama masa operasi PLTU batubara. Akibatnya, biaya kesehatan memiliki implikasi yang lebih besar dibandingkan dengan biaya investasi pada total biaya PLTU batubara.
Biaya kesehatan tahunan Rp. 351 trilliun jauh lebih tinggi dari alokasi APBN 2016 untuk sektor kesehatan yang mencapai sekitar Rp 110 triliun, sama dengan 5 persen dari total anggaran. Biaya kesehatan ini  ditanggung baik oleh individu masyarakat maupun pemerintah. Lebih lanjut kualitas hidup dan produktivitas masyarakat secara terus-menurus makin merosot.
Perhitungan yang dilakukan oleh Greenpeace menunjukkan bahwa biaya kesehatan muncul sebesar USD 84,19 /MWh PLTU batubara. Hal ini setara dengan 55 persen dari total biaya PLTU batubara yang mencapai USD 152,65/MWh.  Dengan mempertimbangkan biaya kesehatan -juga dampak CO2 / pemanasan global - dari struktur pembiayaan PLTU batubara, maka argumen batubara adalah energi murah merupakan argumen yang menyesatkan karena total porsi biaya modal, biaya bahan bakar, biaya operasi, dan pemeliharaan hanya mencakup 38 persen dari biaya PLTU batubara yang sebenarnya.
Gambar 6. Pembagian biaya pembangkit di Indonesia

Polusi udara dari emisi PLTU batubara meningkatkan risiko penyakit serius seperti kanker paru-paru, stroke, penyakit jantung, penyakit pernapasan kronis dan infeksi saluran pernapasan akut. Bayi, ibu hamil, dan orang tua yang paling rentan terhadap efek akut dari polusi udara. Di Indonesia pada tahun 2008 pembakaran batubara menyumbang sekitar 50% dari emisi SO2 yang terkait sektor energi, 30% dari emisi PM10 dan 28% dari emisi NOx.3  Diperkirakan rencana proyek 45.365 MW PLTU batubara akan menyebabkan kematian dini hingga 20.687 penderita/ tahun di negara ini. Jumlah ini kira-kira tiga lipat estimasi kematian dini saat ini, yakni 6.500 penderita/tahun yang disebabkan oleh stroke, penyakit jantung iskemik, penyakit paru obstruktif kronik, kanker paru-paru, serta penyakit jantung & pernapasan lainnya pada anak-anak.
Penting untuk dicatat bahwa biaya PLTU batubara saat ini merupakan estimasi biaya yang kelewat rendah/underestimate. Biaya pembangkit PLTU batubara yang biasa ditampilkan belum mencakup biaya yang timbul dari dampak lingkungan, seperti polusi air serta dampak ekonomi dari perubahan iklim yang semakin buruk akibat besarnya emisi gas rumah kaca dari pembakaran batubara.

Setelah memasukan biaya kesehatan ke dalam struktur biaya PLTU batubara, listrik dari batubara tidak lagi menjadi sumber energi yang murah. Sebelum kalkulasi internalisasi biaya kesehatan dan CO2/pemanasan global, maka biaya listrik dari batubara barulah sebesar USD 51,22 / MWh. Angka tersebut lebih kecil daripada biaya investasi dari berbagai jenis energi terbarukan, kecuali panas bumi. Sebagai perbandingan, biaya energi angin baik onshore maupun offshore  masing-masing sebesar USD 78,25 / MWh dan USD 123,55 / MWh.
Namun, biaya PLTU batubara kemudian akan naik secara signifikan yakni USD 152,65/ MWh setelah biaya kesehatan dan CO2/pemanasan global diinternalisasikan ke dalam struktur biaya. Angka tersebut sudah melebihi biaya dari semua jenis pembangkit energi terbarukan. Misalnya, biaya biomassa dan solar PV masing-masing adalah USD 112,76 / MWh dan USD 108,07 / MWh.
Gambar 7. Biaya Pembangkit Energi

Jelas dari pembahasan ini bahwa polutan dengan jumlah besar yang dihasilkan dari  energi kimia dalam bahan bakar fosil diubah menjadi energi panas, mekanik, atau listrik melalui pembakaran, dan dengan demikian pembangkit listrik, kendaraan bermotor, pabrik-pabrik dan bahkan kompor adalah penyebab utama terjadinya polusi udara. Sebaliknya, tidak ada polusi terpancar sebagai listrik yang diubah menjadi energi panas, kimia, atau mekanik, sehingga mobil listrik sering disebut-sebut sebagai kendaraan "nol emisi" dan penggunaannya secara luas dipandang sebagai solusi akhir untuk masalah polusi udara. Harus diingat, bagaimanapun, bahwa listrik yang digunakan oleh mobil listrik dikembangkan di tempat lain kebanyakan dengan pembakaran bahan bakar, dengan demikian dapat menghasilkan polusi. Oleh karena itu, setiap kali sebuah mobil listrik mengkonsumsi 1 kWh listrik, bertanggung jawab atas pencemaran yang terjadi sebagai 1 kWh listrik (ditambah konversi dan transmisi yang hilang) yang dihasilkan tempat lain. Mobil listrik dapat dinyatakan sebagai kendaraan nol emisi hanya ketika listrik yang mereka konsumsi dihasilkan oleh sumber daya yang bebas emisi seperti tenaga air, tenaga surya, angin, dan energi panas bumi. Oleh karena itu, penggunaan energi baru ini harus digalakkan di seluruh dunia, jika perlu dengan paksaan, untuk membuat bumi menjadi tempat yang lebih baik untuk beberapa dekade terakhir untuk meningkatkan efisiensi konversi (dalam beberapa kasus dua kali lipatnya) dan dilakukan untuk mengurangi polusi. Sebagai individu, kita juga dapat membantu dengan menjalankan langkah-langkah konservasi energi dan efisiensi energi dengan menjadikannya prioritas yang tinggi dalam titik penunjang kita. kehidupan. Kemajuan dalam termodinamika telah memberikan kontribusi besar dalam titik penunjang kita.
Oxfam International memperkirakan, dana yang dibutuhkan untuk adaptasi perubahan iklim diseluruh dunia mencapai 150 miliar per tahun. Pada pertemuan Para Pihak Kerangka Kerja PBB untuk Konvensi Perubahan Iklim di Bali pada tahun 2007 menyepakati pembentukan Badan Dana Adaptasi Perubahan Iklim. Para pihak mengalokasikan 2 persen dana Mekanisme Pembangunan Bersih untuk membiayai adaptasi perubahan iklim. Dana Adaptasi Perubahan Iklim baru mencapai 192,51 juta dollar AS.


PENUTUP

·         Energi kimia dalam bahan bakar fosil diubah menjadi energi panas, mekanik atau listrik melalui pembakaran.
·         Pembangkit listrik, khususnya Pembangkit Listrik Tenaga Uap merupakan penyebab utama terjadinya udara dengan menghasilkan polutan. Polutan yang dikeluarkan biasanya dikeloompokan menjadi hidrokarbon (HC), nitrogen oksida (NOx), dan karbon monoksida (CO). Polutan yang dihasilkan pada pembakaran fosil merupakan faktor terbesar terjadinya asap, hujan asam dan pemanasan global dan perubahan iklim.

·         Proyek pembangunan pembangkit listrik tenaga batu (PLTU) batubara harus berakhir: Ini harus diterjemahkan ke dalam kebijakan konkrit, antara lain dengan kebijakan yang tertuang dalam rencana pembangunan jangka menengah (yang direvisi), sehingga menjadi referensi penting bagi turunan rencana pembangunan di bawahnya, baik di tingkat nasional dan regional.
·         Phase-out serta meningkatkan pemantauan terhadap PLTU batubara yang sudah  ada: Dalam hal ini, Kementerian Sumber Daya Energi dan Mineral (ESDM) harus mengembangkan roadmap dengan target yang jelas untuk mempromosikan peralihan cepat dari dominansi batubara ke energi terbarukan. Penting untuk dilakukan pemantauan yang transparan dan mudah diakses masyarakat terkait emisi dari PLTU batubara, termasuk kemudahan untuk diakses masyarakat lokal, memperkuat penegakan hukum dan menjatuhkan sanksi berat untuk temuan pelanggaran emisi PLTU batubara.
·         Mengatur target yang lebih ambisius untuk meningkatkan porsi energi terbarukan dalam menggantikan energi batubara: Untuk pelaksanaan yang efektif, pemerintah harus: (1) menyediakan insentif yang sesuai untuk pengembangan energi terbarukan; (2) mendukung pengembangan teknologi yang berhubungan dengan energi terbarukan, misalnya meningkatkan faktor kapasitas dan menurunkan biaya energi terbarukan; (3) fokus pada energi terbarukan yang melimpah di Indonesia, seperti panas bumi yang potensinya mencapai 40% dari cadangan panas bumi dunia dengan kapasitasnya melebihi 29.000 MW 4, serta pembangkit listrik tenaga air dan tenaga angin.
·         menciptakan strategi yang berpegang pada prinsip berkelanjutan (konservasi, daur ulang, penggunaan sumber daya yang dapat diperbaharui, pengendalian penduduk, regenerasi atau restorasi) dengan memperhatikan root causesnya.


DAFTAR PUSTAKA


Brown, L.R. 1982. Hari yang keduapuluh sembilan (terjemahan), Jakarta: Erlangga
Finahari, Ida Nuryaitin, “Potensi, Dampak dan Pengendalian Emisi gas CO2 Dari pembangkit Listrik Berbahan Baker Fosil” Presentasi Ilmiah Peneliti Madya, Batan , Jakarta, 2007
Herbert E.Callen,1985. Thermodynamiics And Introduction toThermostatistics, Second Edition. Jhon Wiley & Sons. New York
Indiahono, Dwiyanto, 2009. Kebijakan Publik. Yogyakarta : Gava Media.
Bayu Aji Prakoso, dkk, 2015.  Evaluasi Dampak Pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Tanjung Jati B Di Desa Tubanan Kecamatan Kembang Kabupaten Jepara
Salim, E. 1979. Lingkungan Hidup dan Pembangunan. Jakarta: Mutiara
Subarsono, AG, 2005. Analisis Kebijakan Publik, teori, Konsep, dan Aplikasi. Yogyakarta :  Pustaka Pelajar
Swan, J. A. and Stapp, W.B.1974. Environmental Education: strategies Toward a More Livable Future. New York: John Willey & Sons
Wibawa, Samudra dan kawan kawan.  1994.  Evaluasi Kebijakan Publik. Jakarta : Raja Grafindo Persada
Yusuf Hilmi Adisendjaja, 2003. Analisis Dampak Pembangunan Terhadap Lingkungan
Zen, M.T. 1979. Menuju Kelestarian Lingkungan Hidup, Jakarta: Gramedia