"DAMPAK PEMBANGUNAN
PEMBANGKIT LISTRIK TENAGA UAP TERHADAP LINGKUNGAN"
DISUSUN OLEH:
KELOMPOK IV
DWI HARTINI NUR
CLARA INGGREASTUTI
SURIANTO
MUHAMMAD WAHYU
SANTOSO
FACHRI T.
DEPARTEMEN TEKNIK
ELEKTRO
FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS
HASANUDDIN
GOWA
2018
DAFTAR ISI
DAFTAR GAMBAR
Gambar
1. Interaksi antara dinamika kependudukan, pengembangan SDA dan energi,
Pertumbuhan ekonomi, Perkembangan IPTEK serta benturan terhadap tata lingkungan
(Zen, 1979)........ 7
Gambar
2. Bagan Resiprokalitas Dampak Kebijakan .......................................... 10
Gambar
3. Limbah Gas/Aerosol PLTU Tanjung Jati I di Jepara ......................... 22
Gambar
4. Ilustrasi terjadinya efek gas rumah kaca ............................................. 23
Gambar
5. Disposisi Asam oleh Sulful Oksida dan Nitrogen Oksida .................. 24
Gambar
6. Pembagian biaya pembangkit di Indonesia ........................................ 26
Gambar
7. Biaya Pembangkit Energi ................................................................... 28
Tabel
1. Cadangan Energi Fosil di Indonesia tahun 2005 .................................... 13
Tabel
2. Dampak Seposisi Asam .......................................................................... 24
BAB I
PENDAHULUAN
Pembangunan
dan lingkungan mempunyai hubungan yang erat saling terkait dan saling
mempengaruhi satu sama lain. Pembangunan dalam hal ini berupa kegiatan usaha
maupun kegiatan untuk hajat hidup orang banyak, membutuhkan faktor lingkungan
baik lingkungan alam maupun lingkungan sosial sebagai unsur produksi baik
secara langsung maupun tidak langsung. Lingkungan alam menjadi pemasok sumber
daya alam yang akan diproses lebih lanjut guna memenuhi kebutuhan manusia,
sedangkan lingkungan sosial menyediakan sumber daya manusia sebagai pelaku
pembangunan. Sebaliknya lingkungan membutuhkan pembangunan untuk bisa
memberikan nilai guna atau manfaat yang dapat diukur secara ekonomi. Demikian
pula lingkungan sosial juga membutuhkan pembangunan guna mendapatkan manfaat
untuk kehidupan yang lebih baik. Kegiatan pembangunan yang menghasilkan
berbagai produk baik barang dan jasa telah memberikan manfaat bagi
kesejahteraan, kemudahan, dan kenyamanan bagi kehidupan manusia diberbagai
bidang. Namun demikian, dalam kaitan dengan lingkungan alam, ancaman datang
dari dua sumber yakni polusi dan deplesi sumberdaya alam. Polusi berkaitan
dengan kontaminasi lingkungan oleh industri, sedangkan deplesi sumberdaya alam
bersumber dari penggunaan sumber-sumber yang terbatas jumlahnya.
Pertumbuhan
pembangunan di satu sisi akan memberikan kontribusi positif terhadap taraf
hidup masyarakat. Namun di sisi lain akan berakibat menurunnya fungsi
lingkungan. Alih fungsi lahan untuk pembangunan secara langsung akan mengurangi
luas lahan hijau, baik lahan pertanian maupun kawasan hutan yang merupakan
penghasil oksigen. Sementara meningkatnya pemakaian bahan bakar fosil sebagai
sumber energi justru menyumbang gas karbon yang akhirnya berdampak pada
perubahan iklim yang terjadi karena efek rumah kaca. Kontradiksi antara
kepentingan pembangunan dan kepentingan pelestarian fungsi lingkungan ini
memerlukan upaya dan langkah nyata agar keduanya dapat dilakukan secara
seimbang dan harmonis, sesuai amanat pembangunan berkelanjutan yakni
pembangunan dengan memperhatikan tiga pilar utama yakni ekonomi, lingkungan,
dan sosial.
Semenjak
munculnya revolusi industri pada akhir abad ke-18, perkembangan teknologi dan
industri semakin pesat. Penemuan-penemuan teknologi untuk mempermudah industri
dan mempermudah perikehidupan manusia pada satu sisi memberikan manfaat nyata,
namun di sisi lain konsekuensi yang mucul adalah tuntuntan ketersediaan energi
listrik sebagai penggeraknya. Dengan demikian pertumbuhan pembangunan nasional
secara linier juga menuntut peningkatan pasokan energi listrik. Dalam
Masterplan Pembangunan Ketenagalistrikan 2010-2014, Kementerian Energi dan
Sumberdaya Mineral Republik Indonesia, disampaikan bahwa pada tahun 2008,
kapasitas terpasang energi listrik secara nasional baru mencapai 30.527 MW,
dimana dari jumlah tersebut sekitar 74% (22.599 MW) merupakan pembangkit yang
melayani sistem kelistrikan jaringan
pulau Jawa-Madura-Bali. Melalui perhitungan proyeksi pertumbuhan ekonomi dan pertumbuhan
penduduk secara nasional, diprakirakan akan mempengaruhi peningkatan kebutuhan
listrik sebesar 9,2% per tahun.
Adapun rumusan masalah
dalam makalah ini antara lain:
1. Bagaimana
sistem pengelolaan AMDAL pada Pembangkit Listrik Tenaga Uap?
2. Permasalahan
apa saja yang disebabkan akibat pembangunan PLTU?
3. Bagaimana
tanggung jawab pengelola PLTU terhadap kerusakan lingkungan atas keberadaan
PLTU?
1. Untuk
mengetahui dan menganalisis sistem pengelolaan AMDAL pada PLTU.
2. Untuk
mengetahui permasalahan-permasalahan yang disebabkan akibat pembangunan PLTU.
3. Untuk
mengetahui tanggung jawab pengelola PLTU terhadap kerusakan lingkungan atas
keberadaan PLTU.
1. Manfaat
Teoritis
a. Makalah
ini diharapkan memberikan manfaat bagi kalangan mahasiswa pada umumnya dan
mahasiswa departemen Teknik Elektro pada khususnya sebagai bahan referensi yang
tertarik dalam bidang kajian ini.
b. Memberikan
manfaat bagi perkembangan Ilmu Keelektroan khususnya mengenai Dampak
Pembangunan Pembangkit Listrik pada Lingkungan.
c. Sebagai
tambahan wacana referensi acuan makalah yang sejenis dan permasalahan yang
berbeda.
2. Manfaat
Praktis
a. Memberikan
wawasan, pengetahuan serta pemahaman tentang dampak pembangunan pembangkit listrik
pada lingkungan.
b. Memberikan
sumbangan pemikiran kepada masyarakat dan pelaku usaha industri khususnya
industi kelistrikan akan arti pentingnya pelestarian lingkungan dan teknologi.
c. Sebagai bahan informasi bagi penelitian yang lain
yang berkaitan dengan analisis mengenai dampak lingkingan di bidang
keelektroan.
Sistem
yaitu benda atau kumpulan benda apa saja yang akan kita teliti dan menjadi
pusat perhatian kita. Sistem dapat dibedakan menjadi sistem terbuka dan sistem
tertutup. Sistem terbuka yaitu suatu sistem yang memungkinkan terjadinya
pertukaran materi dan energi antara sistem dan lingkungan. Sistem tertutup
adalah suatu sistem yang tidak memungkinkan terjadinya pertukaran materi antara
sistem dan lingkungan, tetapi masih memungkinkan terjadinya pertukaran energi.
Sistem tertutup dikatakan sebagai sistem yang terisolasi bila tidak
memungkinkan terjadinya pertukaran materi dan energi antara sistem dan
lingkungan. Sistem dalam termodinamika adalah suatu sistem yang dapat
berinteraksi (ada pertukaran energi) dengan lingkungannya . Alam semesta dapat
dianggap sebagai suatu sistem yang terisolasi. Di luar sistem disebut dengan
lingkungan.
Lingkungan
Hidup adalah ciptaan Tuhan Yang Maha Esa yang sudah ada di dunia beberapa tahun
lamanya sebelum terciptanya manusia. Hubungan manusia dengan lingkungan saling
berkaitan dan keduanya sangat saling bergantung bisa kita bayangkan apabila
manusia hidup tanpa adanya lingkungan. Adanya lingkungan yang tumbuh disekitar
manusia dapat membantu manusia dalam mengelola udara (O2) yang dihirup oleh
nya. Banyaknya masyarakat yang melakukan urbanisasi ke kota-kota besar yang
masih belum menentu akan tinggal dimana dan membuat perubahan pada sekitar
tempat yang seharusnya ditumbuhi oleh tumbuhan-tumbuhan hijau, tak jarang
masyarakat yang tinggal di Daerah Aliran Sungai atau biasa disingkat dengan
DAS. Perbuatan ini adalah perbuatan yang sangat mempengaruhi tumbuh dan
berkembangnya tumbuhan disekitar Daerah Aliran Sungai, belum lagi limbah
rumahtangga yang selalu mereka buang ke sungai itu dapat mencemari sungai
tersebut dan salah satu kebiasaan masyarakat yang tinggal di pinggiran sungai
adalah membuang sampah ke sungai yang dapat menyebabkan aliran sungai tidak
berjalan dengan benar sehingga ketika hujan turun dengan deras akan menyebabkan
banjir.
Sambas
Wirakusumah menyatakan: “Lingkungan merupakan semua aspek kondisi eksternal
biologis, dimana organisme hidup dan ilmu-ilmu lingkunga menjadi studi aspek
lingkungan organisme itu”Sri Hayati menyatakan: Menjelaskan lingkungan hidup
sebagai satu kesatuan ruang dengan semua benda juga keadaan makhluk hidup. Yang
termasuk didalamnya adalah manusia dan perilakunya yang melangsungkan kehidupan
dan kesejahteraan manusia juga makhluk-makhluk hidup lainnya. Soedjono
menyatakan: Menyatakan bahwa lingkungan hidup adalah lingkungan fisik atau
jasmani yang terdapat di alam yang mencakup lingkungan hidup manusia, hewan dan
tumbuh-tumbuhan yang ada di dalamnya.
Menurut
Undang-Undang Nomor 32 tahun 2009 tersirat bahwa lingkungan hiduplah yang
mempengaruhi mahluk hidup, termasuk di dalamnya manusia. Manusia hendaknya
menyadari kalau alamlah yang memberi kehidupan dan penghidupan, baik secara
langsung maupun tidak langsung.
Masalah
lingkungan bagi para ahli biologi sudah sejak lama menjadi perhatian. Hal ini
tidaklah mengejutkan karena ekologi yang kajiannya tentang interaksi antara
organisme dengan lingkungannya merupakan salah satu cabang biologi yang
penting. Masalah lingkungan yang sekarang dihadapi oleh seluruh bangsa adalah
masalah yang berkaitan dengan kepentingan hidup manusia yang pada hakekatnya
adalah masalah ekologi dan lebih khusus lagi masalah ekologi manusia.
Suatu
masalah dapat diartikan sebagai sesuatu yang menghalangi atau merintangi
keinginan atau harapan manusia. Masalah dipersepsikan sebagai kesenjangan
diantara realita dan harapanharapan kita yang semestinya. Dengan demikian
masalah lingkungan adalah kondisi-kondisi lingkungan biofisik yang merintangi
kepuasan dan kebutuhan manusia untuk kesehatan dan kebahagiaan (Swan &
Stapp, 1974). Berkaitan dengan kebutuhan manusia ada satu teori yang
dikemukakan Maslow (1970) yang disebut Grumbles theory (Teori keluhan) atau
Maslow’s hierarchy yang diawali dengan
kebutuhan paling dasar, yaitu kebutuhan fisiologis seperti makanan dan air
sampai kepada kebutuhan fisiologis seperti keselamatan, rasa dicintai dan
mencintai, rasa memiliki sampai kepada aktualisasi diri. Bila
kebutuhan-kebutuhan tersebut tak dapat dipenuhi karena sesuatu hal maka manusia
akan mengeluh dan hal tersebut merupakan masalah. Dalam kaitannya dengan
lingkungan maka lingkungan yang menjadi rintangan atau penghalang untuk
memenuhi kebutuhan tersebut. Masalah tersebut timbul karena ada perubahan di
dalam lingkungan sehingga lingkungan tersebut tidak sesuai lagi dan tidak
mendukung kehidupan manusia serta mengganggu kesejahteraan hidupnya
(Soemarwoto, 1992). Lingkungan yang dimaksudkan adalah lingkungan hidup, yaitu
segala benda, kondisi dan pengaruh yang terdapat dalam ruang yang kita tempati
dan mempengaruhi hal, hal yang hidup termasuk manusia. Dengan demikian maka
masalah lingkungan tersebut bersumber pada ketidakseimbangan dalam lingkungan
hidup manusia.
Masalah
lingkungan bukan lagi menjadi masalah suatu bangsa dan negara saja tetapi
seluruh dunia dihadapkan pada masalah yang sangat kompleks dan pelik. Kita
bahkan semua lapisan masyarakat sudah tahu tentang masalah tersebut sehingga
tak perlu dirinci satu persatu.
Kompleksnya
dan menyeluruhnya masalah lingkungan dapat dibuktikan dengan tayangan di
berbagai media cetak dan media elektronik yang hampir tiap hari dimunculkan.
Dari sekian banyak permasalahan yang dihadapi mulai dari masalah pangan,
energi, kerusakan lingkungan, industrialisasi, pencemaran, pengangguran
perekonomian sampai masalah sosial sepintas tampaknya terpisah-pisah tetapi
kalau dicermati akan tampak bahwa permasalahan tersebut saling kait mengait dan
bersumber pada rangkaian masalah pokok, yaitu: dinamika kependudukan,
pengembangan sumber daya alam dan energi, pertumbuhan ekonomi dan perkembangan
ilmu dan teknologi serta benturan terhadap tata lingkungan.
Gambar
1. Interaksi antara dinamika
kependudukan, pengembangan
SDA dan energi, Pertumbuhan ekonomi, Perkembangan IPTEK serta benturan
terhadap tata lingkungan (Zen, 1979)
Ada
dua hal yang paling menggoncangkan keseimbangan lingkungan, yaitu perkembangan
ilmu dan teknologi serta ledakan penduduk (Salim, 1981). Perkembangan IPTEK
telah mengubah keadaan lingkungan tempat hidup sehingga menimbulkan gangguan.
Ledakan penduduk yang terjadi telah memicu percepatan perubahan lingkungan agar
kebutuhan manusia dapat terpenuhi. Ledakan penduduk telah mendorong keharusan
untuk melancarkan pembangunan sekaligus dengan pengembangan lingkungan.
Untuk
dapat memulihkan keseimbangan lingkungan yang rusak adalah penting untuk
menciptakan keragaman dalam sistem lingkungan. Semakin beragam isi lingkungan
maka makin stabil sistem tersebut. Beragamnya isi lingkungan akan memperbesar
daya dukung lingkungan untuk menampung gangguan-gangguan. Pembangunan pada
hakekatnya menimbulkan keragaman dan diversifikasi dalam kegiatan ekonomi
(Salim, 1981). Semakin beragam kegiatan ekonomi semakin besar kemampuan ekonomi
negara itu untuk tumbuh cepat dan stabil. Namun demikian, keragaman dalam
kegiatan ekonomi harus sejalan dengan usaha meragamkan sistem lingkungan. Hal
ini hanya mungkin apabila dalam proses pembangunan sudah diperhitungkan segi
lingkungan hidup dan diusahakan keselarasan antara pengembangan keragaman
kegiatan ekonomi dengan pengembangan keragaman sistem lingkungan.
Proses
pembangunan sebenarnya sudah berjalan sejak lama. Namun pergolakan ekonomi
dalam tahun 1970-an sangat membingungkan yaitu dengan tingginya inflasi dan
pengangguran yang tinggi pula. Para ahli ekonomi sependapat bahwa ada sesuatu
yang tak beres tetapi tidak banyak yang menyadari bahwa perkembangan ekonomi
secara global dalam tiga dasawarsa terakhir terus meningkat di negara maju dan
sebagian negara berkembang disertai laju pertumbuhan penduduk yang tinggi pula
(Brown, 1982). Pertumbuhan penduduk yang tinggi secara cepat telah melampaui
batas daya tampung sistem biologi bumi
disertai dengan menyusutnya sumber daya. Dengan demikian permasalahan
lingkungan berakar pada hubungan jumlah penduduk dengan sistem alam serta
sumber dayanya. Pada dasarnya perekonomian dunia berdasar pada empat sistem
biologis yaitu tanah pertanian, padang rumput, kehutanan, dan perikanan (Brown,
1982). Selain sebagai sumber pangan juga merupakan sumber bahan mentah untuk
industri.
Pengaruh
samping dari pembangunan seperti menyusutnya sumber daya dan pencemaran telah mengancam kehidupan
manusia di seluruh dunia tak terkecuali negara maju. Adanya permasalahan
lingkungan ini mendapat perhatian dalam dasawarsa tahun 1970-an setelah
diadakan Konferensi PBB tentang Lingkungan Hidup di Stockholm tahun 1972 dan
sekarang dikenal dengan Konferensi Stockholm dan hari pembukaan konferensi
tanggal 5 Juni telah disepakati untuk dijadikan Hari Lingkungan Hidup Sedunia.
Namun demikian setelah 30 tahun konferensi tersebut ternyata masalah
linglkungan semakin menjadi alias tak mampu mengatasi masalah lingkungan.
Negara maju masih dengan pola hidupnya yang mewah, boros dan pencemaran,
sebaliknya negara berkembang makin mengeksploitasi sumber daya alamnya untuk
memacu pembangunan dan untuk membayar utang luar negerinya. Dengan kemampuan
ekonomi, teknologi dan kesadaran lingkungan yang masih terbatas maka
peningkatan pembangunan tidak diimbangi dengan perlindungan lingkungan. Akibatnya
kerusakan lingkungan akibat
overeksploitasi dan pencemaran di negara berkembang masih tetap saja
berlangsung.
Kebijakan
publik menurut Dye dalam Dwiyanto Indiahono (2009: 17 ) adalah “apapun kegiatan
pemerintah baik yang eksplisit maupun emplisit merupakan kebijakan”. Selain itu
pendapat dari James E. Anderson dalam Dwiyanto Indiahono (2009: 17)
mendefinisikan kebijakan sebagai perilaku dari sejumlah aktor (pejabat,
kelompok, instansi pemerintahan) atau serangkaian aktor dalam suatu bidang
kegiatan tertentu. jika pembicaraan tentang kebijakan memang tidak lepas dari
kaitan kepentingan antar kelompok, baik di tingkat pemerintahan maupun
masyarakat umum. Setelah kebijakan tersebut terbentuk maka untuk menjalankan
kebijakan tersebut dilakukannya kegiatan implimentasi.
Menurut
Barnadine R. Wijaya & Susilo Supardo (2006 : 81) dalam buku Harbani
Pasolong mengatakan bahwa implementasi adalah proses mentranformasikan suatu
rencana kedalam praktik. Sedangkan menurut Hinggis (1985) dalam buku Harbani
Pasolong mendefinisikan jika implementasi adalah sebagai rangkuman dari
berbagai kegiatan yang didalamnya sumber daya manusia menggunakan sumber daya
lain untuk mencapai sasaran strategi. Selain itu menurut ahli lain, Grindle
(1980) menjelaskan jika implementasi sering dilihat sebagai suatu proses yang
penuh dengan muatan politik dimana mereka yang berkepentingan berusaha sedapat
mungkin mempengaruhinya. Proses implementasi sudah berjalan maka langkah selanjutnya adalah kegiatan evaluasi,
guna untuk melihat hasil atau mengevaluasi dampak yang dari kebijakan tersebut.
Evaluasi
dampak yang terjadi memberikan perhatian yang lebih besar kepada output dan
dampak kebijakan dibandingkan kepada proses pelaksanaannya. Dalam kaitannya
dengan dampak, perlu dipahami, jika adanya dampak yang diharapkan dan tidak
diharapkan. Dampak yang diharapkan mengandung pengertian bahwa ketika kebijakan
dibuat, pemerintah telah menentukan atau memetakan dampak apa saja yang akan
terjadi. Di antara dampakdampak yang diduga akan terjadi ini, ada dampak yang
diharapkan dan ada yang tidak diharapkan. Lebih dari itu, pada akhir
implementasi kebijakan muncul pula dampak-dampak yang tak terduga, yang
diantaranya ada yang diharapkan dan tak diharapkan. Oleh (Samudra
Wibawa,1994:35)
Gambar
2. Bagan Resiprokalitas Dampak Kebijakan
Untuk
mengukur hasil dan dampak maka evaluasi
dampak pembangunan PLTU memerlukan suatu kriteria untuk melakukan penilaian.
Dalam
Wirawan (2011: 84), Michael Scriven mengembangkan tiga kriteria evaluasi
kebijakan, yaitu :
1. Pengaruh
Sampingan yang Negatif, Yaitu pengaruh sampingan yang tidak dikehendaki oleh
program
2. Pengaruh
Positif yang Ditetapkan, Suatu program mempunyai tujuan yang ditetapkan oleh
rencana program.
3. Pengaruh
Sampingan Positif. Yaitu pengaruh Positif program di luar pengaruh positif yang
ditentukan oleh tujuan program.
BAB III
HASIL DAN PEMBAHASAN
Energi batubara sebagai pilihan utama
pemerintah Indonesia demi mencapai target ambisius untuk membangun tambahan 35
Gigawatt (GW) kapasitas baru pada tahun 2019 telah menciptakan biaya dan dampak
kesehatan serius yang akan membebani pemerintah dan masyarakat Indonesia.
Dengan menyertakan pertimbangan dampak
biaya dan kesehatan dari PLTU batubara,
dapat dibuktikan bahwa pada akhirnya PLTU batubara menimbulkan biaya penyediaan
listrik yang jauh lebih mahal daripada semua jenis energi. Maka jelaslah bahwa batubara merupakan
pilihan yang buruk untuk sebuah strategi energi masa depan negara.
Produksi dan penggunaan energi tetap
menjadi sumber utama polusi udara di Indonesia.
Lebih dari 85 persen dari
partikel sulfur oksida dan nitrogen oksida dilepaskan oleh sektor energi. Saat ini, jutaan ton polutan dari sektor
energi dilepaskan dan menyebabkan kematian dini hingga mencapai estimasi 190
orang/hari di negara ini pada tahun 2013.
Emisi batubara adalah salah satu polutan
yang paling merusak dari sektor energi. Namun, sampai saat ini, sekitar 40
persen dari pembangkit listrik di seluruh dunia masih menggunakan batubara
sebagai sumber energi. Kini PLTU
batubara semakin kehilangan popularitasnya di sejumlah negara-negara maju
seperti Amerika Serikat dan Belanda – berkat meningkatkan kesadaran dampak
berbahaya yang ditimbulkan, penolakan publik yang luas terhadap penggunaan
batubara, serta ketersediaan energi
terbarukan dunia yang semakin terjangkau – namun sebaliknya PLTU batubara masih mendominasi produksi
energi di Indonesia. PLTU batubara
meliputi sekitar 2/3 (dua pertiga) dari
penjualan batubara di dalam negeri pada tahun 2010.
Logika terbalik yang mendasari bertahannya
penggunaan energi batubara adalah bahwa biaya energi batubara lebih efisien
daripada sumber energi lainnya, termasuk energi terbarukan. Akibatnya terdapat
implikasi yang mengkhawatirkan pada strategi energi dari Pemerintah Indonesia.
Misalnya, untuk mencapai target ambisius membangun tambahan 35 Gigawatt (GW)
dari pembangkit listrik baru pada tahun 2019, Pemerintah Indonesia mengusahakan bahwa 22.000 megawatt dari
kapasitas tersebut akan berasal dari PLTU batu bara.
Argumen bahwa energi batubara merupakan
energi murah sudah lama usang dan menyesatkan.
Argumen tersebut tidak
memperhitungkan kenyataan timbulnya eksternalitas negatif berupa biaya
dan dampak kesehatan dari PLTU batubara. Bahkan, PLTU batubara mengeluarkan
polutan beracun termasuk merkuri dan partikel-partikel kecil berbahaya meliputi
logam berat arsenik dan kadmium, yang dipancarkan ke udara dan mengekspos
masyarakat kepada risiko penyakit kronis pada orang dewasa serta infeksi
saluran pernapasan akut pada anak-anak. Berdasarkan pemodelan dilakukan
Universitas Harvard yang terbit dalam laporan Greenpeace baru-baru ini, menyatakan bahwa PLTU batubara bertanggung
jawab terhadap estimasi kematian dini
6.500 penderita /tahun di Indonesia.
Serta bila memperhitungkan tambahan ekspansi pembangunan PLTU batubara
dalam rencana, maka estimasi angka penderita bertambah 15.700 orang setiap
tahunnya di Indonesia.
Prinsip
kerja PLTU yaknij terdiri dari : (I) Sistem pembangkit uap/Steam Generator,
(II) Turbin, (III) Generator Listrik yang akan menghasilkan tenaga listrik
untuk kemudian masuk dalam jaringan distribusi (IV).
Uap
yang dihasilkan oleh sistem pembangkit uap/Steam
Generator akan digunakan untuk memutar sistem Turbin yang dikopel dengan
Generator Listrik yang akan merubah energi kinetik menjadi energi listrik.
Listrik yang dihasilkan kemudian masuk dalam jaringan ditribusi untuk
didistribusikan ke konsumen.
Pada
PLTU sistem pembangkit uap yang digunakan adalah sistem konvensional yakni uap
dihasilkan dari boiler yang pemanasanya dilakukan dengan menggunakan bahan
bakar fosil.
Dengan
meningkatnya kebutuhan energi listrik maka akan dibutuhkan pembangunan
pembangkit yang lebih banyak sehingga akan berakibat pada eploitasi SDA yang
semakin meningkat. Hal ini akan berdampak pada menurunnya cadangan SDA yang
ada.
Sumber
daya energi khususnya yang tidak terbarukan seperti minyak, gas, batubara
(energi fosil) semakin lama akan terus berkurang sesuai dengan pemakaian yang
terus meningkat. Hal ini akan menimbulkan krisis energi dikemudian hari
khususnya untuk generasi yang akan datang. Data cadangan energi terbukti di
Indonesia menunjukkan bahwa energi minyak tinggal 10 th, Gas 30 th, dan
Batu-bara 146 tahun, dengan asumsi cadangan terbukti tetap dan tidak ada
peningkatan produksi seperti ditunjukkan pada Tabel 1. Ini berarti bahwa setelah kurun waktu
tersebut maka mau tidak mau Indonesia harus mengimpor sumber energi dari luar.
Tabel
1. Cadangan Energi Fosil di Indonesia tahun 2005
Energi
|
Total Cadangan
|
Cangan Terbukti
|
Produksi
|
Perbandingan
|
Minyak
|
9,6 Milyar bbl
|
5 Milyar bbl
|
0,5 Milyar bbl
|
23
tahun
|
Gas
|
170
TSCF
|
87
TSCF
|
2,9
TSCF
|
62
tahun
|
Batubara
|
38 Milyar Ton
|
6,5 Milyar Ton
|
73 Milyar Ton
|
146
tahun
|
Kebijakan
diversifikasi energi primer yang selama ini telah dilakukan khususnya terhadap
ketergantungan akan minyak bumi telah menurunkan konsumsi pemakaian minyak dari
88% pada tahun 1970 menjadi 57,2% pada tahun 2000. Namun demikian diversifikasi
ini masih mengandalkan sumber energi fosil yang lain yakni penggunaan gas dan
batubara yang mulai diintensifkan hingga meningkat dari 6% menjadi 27,2% untuk
gas dan 1% menjadi 10,1 % untuk batubara pada kurun waktu tersebut. Hal ini
tentunya juga akan mengurangi keterbatasan cadangan energi gas dan batubara
yang ada.
Penggunaan
bahan bakar nuklir relatif sangat kecil dibandingkan penggunaan bahan bakar
batubara maupun bahan bakar fosil yang lain untuk pembangkit listrik dengan
daya yang sama. Selain itu dari sisi operasional kelebihan pembangkit tenaga nuklir adalah
dapat dioperasikan terus menerus selama satu tahun tanpa mengganti dengan bahan
bakar yang baru. Dengan demikian akan meningkatkan efisiensi penggunaan sumber
daya alam yang ada.
Perubahan
energi dari satu bentuk ke bentuk yang lainnya dengan berbagai cara sering
mempengaruhi lingkungan dan udara yang kita hirup, dan dengan demikian mempelajari
energi tidaklah lengkap tanpa mempertimbangkan dampaknya terhadap lingkungan .
Bahan bakar fosil seperti batu bara, minyak bumi, dan gas alam telah memotori
perkembangan industri dan fasilitas kehidupan modern yang kita nikmati sekitar
awal abad 19, tetapi semua ini tidaklah tanpa efek samping yang tidak
diinginkan. Dari tanah yang kita tanam dan air yang kita minum sampai udara
yang kita hirup, lingkungan telah menerima dampak yang sangat besar untuk semua
itu. Polutan yang dihasilkan pada pembakaran fosil merupakan faktor terbesar
terjadinya asap, hujan asam, dan pemanasan global dan perubahan iklim5). Polusi
lingkungan telah melampaui batas ambang
dimana menjadi ancaman yang serius bagi tanaman, satwa liar, dan
kesehatan manusia. Polusi udara telah menjadi penyebab berbagai masalah
kesehatan termasuk asma dan kanker. Diperkirakan lebih dari 60.000 orang di
Amerika Serikat meninggal dunia setiap tahunnya karena penyakit jantung dan
paruparu yang berkaitan dengan polusi udara.
Ratusan
unsur dan senyawa, seperti benzena dan formaldehid diketahui teremisi pada
pembakaran batubara, minyak bumi, gas alam, dan kayu di pembangkit-pembangkit
tenaga listrik, mesin kendaraan, tungku pembakaran, dan bahkan perapian.
Beberapa senyawa ditambahkan ke bahan bakar cair untuk berbagai alasan (seperti
MTBE atau methyl tertiary buthyl ether
yang digunakan untuk meningkatkan angka oktan pada bahan bakar dan juga
oksigenasi bahan bakar pada musim dingin untuk mengurangi asap perkotaan), yang
mana dapat menggangu kesehatan mata dan pernapasan. Sumber terbesar polusi
udara adalah dari kendaraan bermotor, dan polutan yang dikeluarkan oleh
kendaraan biasanya dikelompokkan sebagai hidrokarbon (HC), nitrogen oksida
(NOx), dan karbon monoksida (CO) (Gbr 1). Emisi HC merupakan komponen besar
dari emisi senyawa volatil organik (VOCs), dan ini umumnya digunakan secara
bergantian untuk emisi kendaraan bermotor. Sebagian besar dari emisi VOC atau
HC disebabkan oleh penguapan pada saat pengisian bahan bakar atau tumpahan
ketika spitback atau oleh penguapan dari tangki gas karena penutup yang tidak
tertutup rapat. Pelarut, bahan pembakar, dan produk pembersih untuk rumah
tangga yang mengandung benzena, butana, atau produk HC lainnya juga merupakan
sumber penting dari emisi HC.
Peningkatan
pencemaran lingkungan pada tingkat yang mengkhawatirkan dan peningkatan
kewaspadaan dari bahayanya itu sendiri, membuat perlu dilakukannya pengendalian
pencemaran lingkungan dengan menggunakan undang-undang dan kesepakatan
internasional. di Indonesia ada AMDAL. Di Amerika Serikat, UndangUndang Udara
Bersih (The Clean Air Act) pada tahun 1970 (di daerah yang ditandai dengan asap
selama 14 hari di Washington pada tahun itu) menetapkan batas polutan yang
dihasilkan pembangkit-pembangkit besar dan kendaraan. Standar ini difokuskan
pada emisi hidrokarbon, nitrogen oksida, dan karbon monoksida). Mobil-mobil
baru harus memiliki alat konversi katalis (catalytic converter) pada sistem
pembuangannya untuk mengurangi emisi HC dan CO. Sebagai manfaat lain, pemisahan
timbal dari bensin pada catalytic converter menyebabkan penurunan yang drastis
pada emisi timbal beracun.
Seperti
di Amerika Serikat batas emisi untuk HC, NO, dan CO dari mobil telah menurun
secara berkala sejak tahun 1970. The Clean Air Act tahun 1990 membuat
persyaratan yang lebih ketat tentang emisi, terutama untuk ozon, CO, Nitrogen
Dioksida, dan unsur partikel (PM). Sebagai hasilnya, sekarang ini fasilitas
industri dan kendaraan menghasilkan sebagian kecil dari polutan sama seperti
yang mereka hasilkan beberapa dekade yang lalu. Emisi HC dari mobil. Contohnya,
penurunan dari sekitar 5 gpkm (gram per km) pada tahun 1970 menjadi 0,25 gpkm
pada tahun 1980 dan sekitar 0,06 gpkm pada tahun 1999. Ini adalah penurunan
yang drastis karena sebagian besar gas beracun yang dihasilkan dari kendaraan
bermotor dan bahan bakar cair adalah hidrokarbon.
Anak-anak sangat rentan terhadap dampak yang
dihasilkan oleh polusi udara karena organ tubuh mereka masih dalam masa
perkembangan. Mereka juga terkena polusi yang lebih banyak karena mereka lebih
aktif, dan bernapas lebih cepat. Orang yang mempunyai masalah dengan jantung
dan paru-paru, terutama asma, faktor terbesarnya adalah disebabkan oleh polusi
udara. Hal ini menjadi jelas jika tingkat polusi udara di lingkungan mereka
mencapai tingkat yang sangat tinggi.
3.2.3.1
Asap
dan Ozon
Jika
anda tinggal di daerah metropolitan seperti Los Angeles, anda mungkin terbiasa
dengan asap perkotaan – asap berwarna kuning gelap atau kecoklatan yang
membentuk gumpalan udara yang mengambang di daerah-daerah berpenduduk pada hari
musim panas2). Asap sebagian besar terdiri dari
lapisan bawah ozon (O3), tetapi juga banyak mengandung
unsur-unsur kimia lainnya, termasuk karbon monoksida (CO), unsur partikel
seperti debu, senyawa volatil organic (VOCs) seperti benzene, butane, dan
hidrokarbon lainnya. Lapisan bawah ozon yang berbahaya jangan disamakan dengan
lapisan ozon yang berguna di stratosfer untuk melindungi bumi dari sinar
ultraviolet matahari yang berbahaya. Ozon di bagian permukaan tanah merupakan
polutan dengan beberapa pengaruh yang merugikan kesehatan. Sumber utama
nitrogen oksida dan hidrokarbon adalah kendaraan bermotor. Hidrokarbon dan
nitrogen oksida bereaksi terhadap sinar matahari pada hari yang cerah untuk
membentuk lapisan bawah ozon, yaitu komponen utama dari asap. Puncak dari
pembentukan asap biasanya pada sore hari saat suhu tertinggi dan banyak sinar
matahari. Meskipun lapisan bawah asap dan ozon terbentuk di daerah perkotaan
dengan lalu lintas yang padat atau daerah industri, namun angin yang bertiup
dapat membawanya beberapa ratus mil ke kota lain. Ini menunjukkan bahwa polusi
tidak mengenal batas, dan merupakan masalah global.
Ozon
dapat menyebabkan iritasi pada mata dan merusak kantung udara pada paruparu,
dimana oksigen dan karbon dioksida bertukar, yang pada akhirnya menyebabkan
pengerasan pada jaringan lunak dan kenyal. Hal itu juga dapat menyebabkan sesak
napas, kelelahan, sakit kepala, mual, dan memperburuk masalah pernapasan
seperti asma. Setiap bagian ozon berdampak kecil terhadap kerusakan pada
paru-paru, seperti halnya asap rokok, yang akhirnya mengikis kapasitas
paru-paru setiap manusia. Tetap berada di dalam rumah dan mengurangi aktivitas
fisik pada saat kondisi asap meningkat dapat meminimalisasi kerusakan yang
parah. Ozon juga merugikan tumbuhtumbuhan dengan merusak jaringan-jaringan
daun. Untuk meningkatkan kualitas udara di daerah-daerah dengan masalah ozon
terburuk, Reformulated Gasoline (RFG) yang mengandung 2% oksigen telah
diperkenalkan. Penggunaan RFG telah menghasilkan penurunan yang signifikan
dalam emisi ozon dan polutan lainnya, dan penggunaannya diwajibkan untuk
daerahdaerah yang rawan banyak asap.
p
adalah karbon monoksida, yang tidak berwarna, tidak berbau, dan merupakan gas
yang beracun. Karbon monoksida sebagian besar berasal dari kendaraan bermotor,
dan dapat mencapai tingkat yang berbahaya di daerah dengan lalu lintas sangat
padat. Karbon monoksida menghalangi organ-organ tubuh untuk mendapatkan oksigen
dengan cara mengikat sel darah merah yang seharusnya membawa oksigen. Pada
jumlah yang kecil, karbon monoksida dapat menyebabkan berkurangnya jumlah
oksigen yang dikirim ke otak, organ dan otot lainnya, memperlambat reaksi dan
reflek, dan bersifat merusak. Itu menimbulkan ancaman yang serius bagi orang
yang berpenyakit jantung yang disebabkan rapuhnya kondisi sistem peredarahan
darah dan janin, karena oksigen sangat dibutuhkan untuk perkembangan otak. Pada
jumlah yang besar, dapat berakibat fatal, sebagaimana dibuktikan dengan
banyaknya kematian yang disebabkan oleh mobil yang dipanaskan di dalam garasi
dan kebocoran gas buangan ke dalam mobil.
Asap
juga mengandung unsur partikel yang tersuspensi seperti debu yang dihasilkan
oleh kendaraan bermotor dan industri. Partikel seperti itu dapat menyebabkan
iritasi pada mata dan paru-paru karena dapat membawa senyawa, seperti asam dan
logam.
3.2.3.2
Hujan
Asam
Bahan
bakar fosil adalah campuran dari berbagai macam bahan kimia, termasuk belerang
(sulfur) dalam jumlah kecil. Sulfur pada bahan bakar bereaksi dengan oksigen
membentuk sulfur dioksida (SO2), yang merupakan polutan udara. Sumber utama SO2
adalah pembangkit tenaga listrik yang membakar batubara dengan kandungan sulfur
tinggi. Di Amerika Serikat dilakukan The Clean Air Act tahun 1970 telah
membatasi emisi SO2 dengan tegas yang mengharuskan pembangkit-pembangkit untuk
menggunakan Scrubber, untuk mengubah menjadi batubara dengan kandungan sulfur
rendah, atau mengubah menjadi gas batubara dan memperbaiki sulfur kembali.2
Kendaraan bermotor juga merupakan salah satu sumber SO2 karena bensin dan solar
juga mengandung sulfur dengan jumlah kecil. Letusan gunung merapi dan air mata
panas juga melepaskan sulfur dioksida (ditandai dengan bau seperti bau telur
busuk).
Sulfur
oksida dan nitrat oksida bereaksi dengan uap air dan bahan kimia lainnya di
lapisan atas atmosfer dihadapan sinar matahari untuk membentuk asam sulfat dan
asam nitrat. Asam yang terbentuk biasanya terlarut dalam tetesan air yang jatuh
ke dalam awan atau kabut. Tetesan sarat asam ini, seperti pada jus lemon, turun
dari udara ke tanah bersama hujan atau salju. Hal ini dikenal sebagai hujan
asam. Tanah mampu menetralkan asam tertentu, tetapi jumlah besar yang
dihasilkan oleh pembangkit listrik yang menggunakan batubara murah dengan
kandungan sulfur tinggi telah melampaui batas kemampuan tanah, dan sebagai
hasilnya banyak danau dan sungai di daerahdaerah industri seperti New York,
Pennsylvania, dan Michigan menjadi sangat asam bagi kehidupan ikan.4 Hutan di
daerahdaerah tersebut juga mengalami kerusakan secara perlahan karena menyerap
asam melalui daun, batang, dan akar. Bahkan struktur marmer memburuk akibat
hujan asam. Besarnya masalah ini tidak diketahui sampai awal 1970-an, dan
langkah-langkah serius telah dilakukan sejak saat itu untuk mengurangi
pembentukan sulfur dioksida secara drastis dengan penggunaan scrubber pada
pembangkit-pembangkit dan dengan desulfurisasi batubara sebelum pembakaran.
3.2.3.3
Efek
Rumah Kaca Pemanasan Glomab dan Perubahan Iklim
Anda
mungkin menyadari ketika anda meninggalkan mobil di bawah terik matahari ,
interior di dalam mobil menjadi lebih panas dari pada udara di luar mobil, dan
mungkin anda bertanya-tanya mengapa mobil anda berfungsi seperti perangkap
panas. Ini dikarenakan kaca pada ketebalan yang dapat mentransmisikan dengan
mudah lebih dari 90% radiasi dalam jarak pandang dan buram (non-transparan)
menjadi radiasi dengan jarak panjang gelombang inframerah yang lebih panjang.
Oleh karena itu, kaca memungkinkan radiasi matahari untuk masuk secara bebas,
tetapi menghalangi radiasi inframerah yang dipancarkan oleh permukaan interior.
Ini menyebabkan peningkatan suhu pada interior sebagai akibat dari penumpukan
energi panas di dalam mobil. Efek pemanasan ini dikenal sebagai efek rumah
kaca, karena efek ini digunakan terutama di rumah kaca.
Efek
rumah kaca juga dialami oleh bumi dalam skala besar. Permukaan bumi, yang
menghangat pada siang hari karena adanya penyerapan energi surya, dan mendingin
pada malam hari dengan memancarkan sebagian energinya ke ruang angkasa berupa
radiasi infra merah. Karbon dioksida, uap air, dan sisa dari beberapa gas
lainnya seperti metana dan nitrogen oksida menyelimuti bumi dan membuat bumi
tetap hangat pada malam hari dengan cara menghalangi panas yang terpancar dari
bumi (Gbr.4). Oleh karena itu, ini disebut juga "gas rumah kaca",
dengan CO2 sebagai komponen utamanya. Uap air biasanya tidak termasuk
didalamnya karena jatuh berupa hujan atau salju sebagai bagian dari siklus air
dan aktivitas manusia dalam memproduksi air (seperti pembakaran bahan bakar
fosil) yang tidak merubah konsentrasi uap air di atmosfer (yang sebagian besar
disebabkan oleh penguapan dari sungai, danau, lautan, dll). CO2 berbeda,
bagaimanapun, aktivitas masyarakat kita merubah konsentrasi CO2 di atmosfer.
Efek
rumah kaca membuat kehidupan di bumi terus berlangsung dengan menjaga bumi
tetap hangat (sekitar 30oC). Namun, jumlah gas yang berlebih ini mengganggu
keseimbangan karena terlalu banyak energi yang tertahan, yang menyebabkan suhu
ratarata bumi meningkat dan iklim di beberapa lokasi berubah.
Konsekuensi-konsekuensi yang tidak diinginkan ini efek rumah kaca ini disebut
sebagai pemanasan global atau perubahan iklim global.
Perubahan
iklim global terjadi karena penggunaan yang berlebihan dari bahan bakar fosil
seperti batu bara, produk minyak bumi, dan gas alam di pembangkit tenaga
listrik, transportasi, bangunan, dan pabrik, dan telah menjadi perhatian dalam
beberapa dekade terakhir. Pada tahun 1995, sebanyak 6,5 miliar ton karbon
terlepas ke atmosfer sebagai CO2. Konsentrasi CO2 di atmosfer sekarang ini
adalah sekitar 360 ppm (atau 0,36%). Konsentrasi ini adalah 20% lebih tinggi
dari satu abad yang lalu, dan diperkirakan akan meningkat sampai lebih dari 700
ppm pada tahun 21004). Pada kondisi normal, tumbuh-tumbuhan mengkonsumsi CO2
dan melepaskan O2 pada saat proses potosintesis, dengan demikian konsentrasi
CO2 di atmosfer tetap terjaga pada kondisi aman. Pohon yang tumbuh besar
mengkonsumsi CO2 sekitar 12 kg tiap tahunnya dan mengeluarkan cukup oksigen dan
dapat menunjang kebutuhan bernapas untuk empat keluarga. Akan tetapi,
penebangan hutan dan meningkatnya produksi CO2 dalam beberapa dekade terakhir
mengganggu keseimbangan ini.
Dalam
laporan tahun 1995, ilmuwan terkemuka di dunia menyimpulkan bahwa suhu di bumi
meningkat sekitar 0.5oC selama beberapa abad terakhir, dan mereka memperkirakan
bahwa suhu di bumi akan meningkat sekitar 20oC lagi pada tahun 2100.2 Kenaikan
sebesar ini dikhawatirkan dapat menyebabkan perubahan besar pada pola cuaca
dengan badai dan hujan lebat serta banjir di beberapa tempat dan kemarau di
tempat lain, banjir besar karena akibat mencairnya es di kutub, hilangnya lahan
basah dan wilayah pesisir karena meningkatnya permukaan laut, banyaknya bentuk
dalam penyediaan air, perubahan ekosistem diakibatkan ketidakmampuan beberapa
spesies hewan dan tanaman untuk menyesuaikan diri dengan perubahan cuaca,
meningkatnya wabah penyakit karena kenaikkan suhu, dan efek samping yang
merugikan kesehatan manusia dan kondisi sosial ekonomi di beberapa daerah.
Ancaman
yang serius ini telah menggerakkan PBB untuk membentuk sebuah komite mengenai
perubahan iklim. Pertemuan dunia dilakukan pada tahun 1992 di Rio de Janerio,
Brazil, dan menarik perhatian dunia terhadap masalah tersebut. Perjanjian yang
dibuat oleh komite pada tahun 1992 untuk mengontrol emisi gas rumah kaca itu
telah ditandatangani oleh 162 negara. Pada pertemuan tahun 1997 di Kyoto
(Jepang), negara-negara industri di dunia mengikuti hasil yang dikeluarkan dan
berkomitmen untuk mengurangi emisi CO2 dan gas rumah kaca sebesar 5% dibawah
level tahun 1990, pada tahun 2008 sampai tahun 2012. Hal ini dapat dilakukan
dengan meningkatkan upaya konservasi dan meningkatkan efisiensi konversi, saat
pertemuan tersebut permintaan atas energi baru dengan menggunakan energi yang
diperbarui (seperti tenaga air, tenaga surya, angin, dan energi panas bumi,
gelombang air laut) daripada bahan bakar fosil.
Amerika
Serikat merupakan penghasil gas rumah kaca terbesar, yakni lebih dari 5 ton
karbon yang dihasilkan tiap orang tiap tahun. Sumber terbesar dari emisi gas
rumah kaca adalah transportasi. Tiap liter bensin yang terbakar oleh kendaraan
bermotor memproduksi sekitar 2,5 kg CO2. Rata-rata mobil di Amerika Serikat
dikendarai sekitar 20.000 km tiap tahun,2 dan mengkonsumsi sekitar 2300 liter
bensin. Oleh karena itu, mobil menghasilkan sekitar 5500 kg CO2 ke atmosfer
tiap tahun, yaitu sekitar empat kali berat mobil khusus (Gbr.5). Emisi ini dan
lainnya dapat dikurangi secara signifikan dengan cara membeli sebuah mobil
hemat energi yang membakar lebih sedikit bahan bakar dengan jarak yang sama,
dan dengan mengemudi secara wajar. Menghemat bahan bakar, sama dengan menghemat
uang dan menyelamatkan lingkunngan. Contohnya, memilih kendaraan yag
mengkonsumsi 8 L/100 km daripada 12 L/100 km akan mencegah 2 ton CO2 terlepas
ke atmosfer setiap tahun dan juga menghemat biaya bahan bakar $400 per tahun
(dengan kondisi mengemudi rata-rata 20.000 km per tahun dan biaya bahan bakar
sebesar $ 0,53/L).
3.2.4.1
Gas
CO2
Limbah gas CO2 yang dihasilkan
dari suatu pembangkit listrik fosil adalah Gas Co2 yang merupakan salah satu golongan gas rumah
kaca (ditunjukkan pada Gambar 3). Efek
gas rumah kaca ini akan menyebabkan radiasi sinar infra merah dari bumi akan
kembali ke permukaan bumi karena tertahan oleh gas rumah kaca. Hal ini lah yang
menyebabkan terjadinya pemanasan global pada bumi (ditunjukkan pada Gambar 4).
Gambar
3. Limbah Gas/Aerosol PLTU Tanjung Jati I
di Jepara
Pemanasan
global pada bumi ini akan menimbulkan dampak turunan yang lebih panjang yakni
mencairnya gunung-gunung es di kutub, meningkatnya suhu permukaan bumi,
meningkatnya suhu air laut, menungkatnya tinggi permukaan laut, kerusakan
pantai karena meningkatnya abrasi laut, dan hilangnya pulau-pulau kecil karena
abrasi air laut.
Data
tahun 2002 menunjukkan suhu permukaan bumi di
dunia naik sekitar (0,6 ± 0,2)oC selama 100 tahun terakhir (IPCC, 2002).
Tinggi air permukaan laut di seluruh dunia telah meningkat 10-25 cm atau
sekitar 1-2 mm/tahun selama abad 20 (IPCC,2002). Untuk Indonesia sendiri dampak
yang paling jelas dirasakan adalah adanya kenaikan suhu bumi yang mencapai
0,54oC dari tahun 1950-2000, sedangkan
untuk Jakarta pada Februari 2007 suhu udara mengalami kenaikan yang
biasanya normal 30-33 oC menjadi 37oC (Kompas,
2 Juni 2007)
Gambar
4. Ilustrasi terjadinya efek gas rumah
kaca
3.2.4.2
Gas
SO2 dan NOx
Gas Sulfur Oksida (SO2)
dan Nitrogen Oksida (NOx) adalah termasuk limbah gas yang dihasilkan dari
Pembangkit Listrik Tenaga Fosil. Dua jenis limbah ini merupakan sumber deposisi
asam. Mekanisme reaksi terjadinya deposisi asam adalah sebagai berikut :
2SO2/NOx
+ H2O(uap) → 2H2SO4/HNO3
Pencemar
yang bersifat asam ini akan turun dari atmosfer kepermukaan bumi dengan cara
basah dan kering yang disebut dengan deposisi basah dan deposisi kering.
Deposisi basah terjadi jika zat yang bersifat asam larut melalui air hujan,
salju, dan kabut sebelum turun kepermukaan bumi. Deposisi kering terjadi jika
zat yang bersifat asam berupa butiran-butiran halus yang diterbangkan oleh angin
kemudian turun ke bumi seperti ditunjukkan pada Gambar 5.
Gambar
5. Disposisi Asam oleh Sulful Oksida dan
Nitrogen Oksida
Dampak
dari deposisi asam ini sangat luas yakni terhadap makhluk hidup, vegetasi dan
struktur bangunan seperti pada Tabel 2 dibawah ini:
Tabel
2. Dampak Seposisi Asam
Dampak terhadap:
|
Keterangan
|
Makhluk hidup
|
·
Punahnya beberapa jenis
ikan
·
Mengganggu siklus
makanan
·
Mengganggu pemanfaatan
air untuk air minum, perikanan, pertanian
·
Menimbulkan masalah
pada kesehatan
·
Pernafasan dan iritasi
kulit
|
Vegerasi
|
·
Perubahan keseimbangan
nutrisi dalam tanah
·
Mengganggu pertumbuhan
tanaman
·
Merusak tanaman
·
Menyuburkan pertumbuhan
jamur madu yang dapat mengganggu pertumbuhan tanaman (menjadi layu)
|
Struktur Bangunan
|
·
Melarutkan Kalsium
Karbonat pada beton, lantai marmer
·
Melarutkan tembaga dan
baja
·
Mempercepat korosi pada
pipa saluran air
·
Mengikis bangunan candi
dan patung
|
Saat
ini, terdapat proyek PLTU batubara dengan total kapasitas tambahan total 45.365
MW di seluruh negeri. Penambahan
pembangunan bervariasi, terdiri dari
proyek 17.825 MW ‘announced’, 17.930 MW ‘pre-permit development’, 4.400
MW ‘permitted’ proyek dan 5,210MW ‘under construction’. Diperkirakan bahwa
total biaya investasi akan berjumlah USD 58.5 miliar atau Rp. 770 triliun.
Selain
biaya investasi serta komponen lain meliputi biaya bahan bakar, operasi dan
pemeliharaan, penting untuk melakukan internalisasi biaya kesehatan, serta
menghitung biaya eksternalitas lainnya.
Sehingga akan didapatkan angka biaya batubara yang sesungguhnya .
Berdasarkan perhitungan Greenpeace menggunakan penelitian Universitas Harvard,
dampak kesehatan dari 45.365 MW pembangkit listrik tenaga batubara adalah USD
26,7 miliar atau setara dengan Rp. 351 trilliun untuk setiap tahun operasi PLTU
batubara.
Meski
biaya investasi hanya terjadi sekali selama pembangunan pembangkit listrik,
namun biaya kesehatan akan terus muncul selama masa operasi PLTU batubara.
Akibatnya, biaya kesehatan memiliki implikasi yang lebih besar dibandingkan
dengan biaya investasi pada total biaya PLTU batubara.
Biaya
kesehatan tahunan Rp. 351 trilliun jauh lebih tinggi dari alokasi APBN 2016
untuk sektor kesehatan yang mencapai sekitar Rp 110 triliun, sama dengan 5
persen dari total anggaran. Biaya kesehatan ini
ditanggung baik oleh individu masyarakat maupun pemerintah. Lebih lanjut
kualitas hidup dan produktivitas masyarakat secara terus-menurus makin merosot.
Perhitungan
yang dilakukan oleh Greenpeace menunjukkan bahwa biaya kesehatan muncul sebesar
USD 84,19 /MWh PLTU batubara. Hal ini setara dengan 55 persen dari total biaya
PLTU batubara yang mencapai USD 152,65/MWh.
Dengan mempertimbangkan biaya kesehatan -juga dampak CO2 / pemanasan
global - dari struktur pembiayaan PLTU batubara, maka argumen batubara adalah
energi murah merupakan argumen yang menyesatkan karena total porsi biaya modal,
biaya bahan bakar, biaya operasi, dan pemeliharaan hanya mencakup 38 persen
dari biaya PLTU batubara yang sebenarnya.
Gambar
6. Pembagian biaya pembangkit di
Indonesia
Polusi
udara dari emisi PLTU batubara meningkatkan risiko penyakit serius seperti
kanker paru-paru, stroke, penyakit jantung, penyakit pernapasan kronis dan
infeksi saluran pernapasan akut. Bayi, ibu hamil, dan orang tua yang paling
rentan terhadap efek akut dari polusi udara. Di Indonesia pada tahun 2008
pembakaran batubara menyumbang sekitar 50% dari emisi SO2 yang terkait sektor
energi, 30% dari emisi PM10 dan 28% dari emisi NOx.3 Diperkirakan rencana proyek 45.365 MW PLTU
batubara akan menyebabkan kematian dini hingga 20.687 penderita/ tahun di
negara ini. Jumlah ini kira-kira tiga lipat estimasi kematian dini saat ini,
yakni 6.500 penderita/tahun yang disebabkan oleh stroke, penyakit jantung
iskemik, penyakit paru obstruktif kronik, kanker paru-paru, serta penyakit
jantung & pernapasan lainnya pada anak-anak.
Penting
untuk dicatat bahwa biaya PLTU batubara saat ini merupakan estimasi biaya yang
kelewat rendah/underestimate. Biaya pembangkit PLTU batubara yang biasa
ditampilkan belum mencakup biaya yang timbul dari dampak lingkungan, seperti
polusi air serta dampak ekonomi dari perubahan iklim yang semakin buruk akibat
besarnya emisi gas rumah kaca dari pembakaran batubara.
Setelah
memasukan biaya kesehatan ke dalam struktur biaya PLTU batubara, listrik dari
batubara tidak lagi menjadi sumber energi yang murah. Sebelum kalkulasi
internalisasi biaya kesehatan dan CO2/pemanasan global, maka biaya listrik dari
batubara barulah sebesar USD 51,22 / MWh. Angka tersebut lebih kecil daripada
biaya investasi dari berbagai jenis energi terbarukan, kecuali panas bumi.
Sebagai perbandingan, biaya energi angin baik onshore maupun offshore masing-masing sebesar USD 78,25 / MWh dan USD
123,55 / MWh.
Namun,
biaya PLTU batubara kemudian akan naik secara signifikan yakni USD 152,65/ MWh
setelah biaya kesehatan dan CO2/pemanasan global diinternalisasikan ke dalam
struktur biaya. Angka tersebut sudah melebihi biaya dari semua jenis pembangkit
energi terbarukan. Misalnya, biaya biomassa dan solar PV masing-masing adalah
USD 112,76 / MWh dan USD 108,07 / MWh.
Gambar
7. Biaya Pembangkit Energi
Jelas
dari pembahasan ini bahwa polutan dengan jumlah besar yang dihasilkan dari energi kimia dalam bahan bakar fosil diubah
menjadi energi panas, mekanik, atau listrik melalui pembakaran, dan dengan
demikian pembangkit listrik, kendaraan bermotor, pabrik-pabrik dan bahkan
kompor adalah penyebab utama terjadinya polusi udara. Sebaliknya, tidak ada
polusi terpancar sebagai listrik yang diubah menjadi energi panas, kimia, atau
mekanik, sehingga mobil listrik sering disebut-sebut sebagai kendaraan
"nol emisi" dan penggunaannya secara luas dipandang sebagai solusi
akhir untuk masalah polusi udara. Harus diingat, bagaimanapun, bahwa listrik
yang digunakan oleh mobil listrik dikembangkan di tempat lain kebanyakan dengan
pembakaran bahan bakar, dengan demikian dapat menghasilkan polusi. Oleh karena
itu, setiap kali sebuah mobil listrik mengkonsumsi 1 kWh listrik, bertanggung
jawab atas pencemaran yang terjadi sebagai 1 kWh listrik (ditambah konversi dan
transmisi yang hilang) yang dihasilkan tempat lain. Mobil listrik dapat
dinyatakan sebagai kendaraan nol emisi hanya ketika listrik yang mereka
konsumsi dihasilkan oleh sumber daya yang bebas emisi seperti tenaga air,
tenaga surya, angin, dan energi panas bumi. Oleh karena itu, penggunaan energi
baru ini harus digalakkan di seluruh dunia, jika perlu dengan paksaan, untuk
membuat bumi menjadi tempat yang lebih baik untuk beberapa dekade terakhir
untuk meningkatkan efisiensi konversi (dalam beberapa kasus dua kali lipatnya)
dan dilakukan untuk mengurangi polusi. Sebagai individu, kita juga dapat
membantu dengan menjalankan langkah-langkah konservasi energi dan efisiensi
energi dengan menjadikannya prioritas yang tinggi dalam titik penunjang kita.
kehidupan. Kemajuan dalam termodinamika telah memberikan kontribusi besar dalam
titik penunjang kita.
Oxfam
International memperkirakan, dana yang dibutuhkan untuk adaptasi perubahan
iklim diseluruh dunia mencapai 150 miliar per tahun. Pada pertemuan Para Pihak
Kerangka Kerja PBB untuk Konvensi Perubahan Iklim di Bali pada tahun 2007
menyepakati pembentukan Badan Dana Adaptasi Perubahan Iklim. Para pihak
mengalokasikan 2 persen dana Mekanisme Pembangunan Bersih untuk membiayai
adaptasi perubahan iklim. Dana Adaptasi Perubahan Iklim baru mencapai 192,51
juta dollar AS.
PENUTUP
·
Energi kimia dalam bahan
bakar fosil diubah menjadi energi panas, mekanik atau listrik melalui
pembakaran.
·
Pembangkit listrik,
khususnya Pembangkit Listrik Tenaga Uap merupakan penyebab utama terjadinya
udara dengan menghasilkan polutan. Polutan yang dikeluarkan biasanya
dikeloompokan menjadi hidrokarbon (HC), nitrogen oksida (NOx), dan karbon
monoksida (CO). Polutan yang dihasilkan pada pembakaran fosil merupakan faktor
terbesar terjadinya asap, hujan asam dan pemanasan global dan perubahan iklim.
·
Proyek pembangunan
pembangkit listrik tenaga batu (PLTU) batubara harus berakhir: Ini harus
diterjemahkan ke dalam kebijakan konkrit, antara lain dengan kebijakan yang
tertuang dalam rencana pembangunan jangka menengah (yang direvisi), sehingga
menjadi referensi penting bagi turunan rencana pembangunan di bawahnya, baik di
tingkat nasional dan regional.
·
Phase-out
serta meningkatkan pemantauan terhadap PLTU batubara yang sudah ada: Dalam hal ini, Kementerian Sumber Daya
Energi dan Mineral (ESDM) harus mengembangkan roadmap dengan target yang jelas
untuk mempromosikan peralihan cepat dari dominansi batubara ke energi
terbarukan. Penting untuk dilakukan pemantauan yang transparan dan mudah
diakses masyarakat terkait emisi dari PLTU batubara, termasuk kemudahan untuk
diakses masyarakat lokal, memperkuat penegakan hukum dan menjatuhkan sanksi
berat untuk temuan pelanggaran emisi PLTU batubara.
·
Mengatur target yang
lebih ambisius untuk meningkatkan porsi energi terbarukan dalam menggantikan
energi batubara: Untuk pelaksanaan yang efektif, pemerintah harus: (1)
menyediakan insentif yang sesuai untuk pengembangan energi terbarukan; (2)
mendukung pengembangan teknologi yang berhubungan dengan energi terbarukan,
misalnya meningkatkan faktor kapasitas dan menurunkan biaya energi terbarukan;
(3) fokus pada energi terbarukan yang melimpah di Indonesia, seperti panas bumi
yang potensinya mencapai 40% dari cadangan panas bumi dunia dengan kapasitasnya
melebihi 29.000 MW 4, serta pembangkit listrik tenaga air dan tenaga angin.
·
menciptakan strategi yang
berpegang pada prinsip berkelanjutan (konservasi, daur ulang, penggunaan sumber
daya yang dapat diperbaharui, pengendalian penduduk, regenerasi atau restorasi)
dengan memperhatikan root causesnya.
DAFTAR PUSTAKA
Brown,
L.R. 1982. Hari yang keduapuluh sembilan (terjemahan), Jakarta: Erlangga
Finahari, Ida
Nuryaitin, “Potensi, Dampak dan Pengendalian Emisi gas CO2 Dari pembangkit
Listrik Berbahan Baker Fosil” Presentasi Ilmiah Peneliti Madya, Batan ,
Jakarta, 2007
Herbert
E.Callen,1985. Thermodynamiics And Introduction toThermostatistics, Second
Edition. Jhon Wiley & Sons. New York
Indiahono,
Dwiyanto, 2009. Kebijakan Publik. Yogyakarta : Gava Media.
Bayu Aji Prakoso,
dkk, 2015. Evaluasi Dampak Pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU)
Tanjung Jati B Di Desa Tubanan Kecamatan Kembang Kabupaten Jepara
Salim,
E. 1979. Lingkungan Hidup dan Pembangunan. Jakarta: Mutiara
Subarsono, AG,
2005. Analisis Kebijakan Publik, teori, Konsep, dan Aplikasi. Yogyakarta : Pustaka Pelajar
Swan, J. A. and
Stapp, W.B.1974. Environmental Education: strategies Toward a More Livable
Future. New York: John Willey & Sons
Wibawa, Samudra
dan kawan kawan. 1994. Evaluasi Kebijakan Publik. Jakarta : Raja
Grafindo Persada
Yusuf Hilmi
Adisendjaja, 2003. Analisis Dampak
Pembangunan Terhadap Lingkungan
Zen,
M.T. 1979. Menuju Kelestarian Lingkungan Hidup, Jakarta: Gramedia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar